Header Ads Widget

Header Ads

Bersinergi Keluar dari Jebakan Polusi Visual

Melanjutkan tulisan sebelumnya mengenai polusi visual atau yang populer disebut sebagai sampah visual, ruang publik di kota Malang kian dipenuhi oleh iklan luar ruang yang semakin liar dan tidak tertata. Kota Malang semakin dipenuhi oleh sampah visual yang tidak hanya menuai dampak ekologis, namun juga dampak psikologis masyarakatnya. Hal ini tentunya butuh perhatian khusus, tidak hanya oleh industri desain grafis namun juga industri percetakan sebagai hilir dari desain grafis. Bagaimana menyikapinya? 

Daftar Isi

Ruang Publik Kota Malang

Tingkat kepadatan penduduk kota Malang yang kian hari kian bertambah, rupa-rupanya mendorong pemerintah kota Malang untuk melakukan pembangunan infrastruktur, baik yang terjadi saat ini dan untuk beberapa waktu ke depan. Sejauh yang dapat diamati saat ini, alun-alun kota Malang yang sedang dalam proses renovasi, rencana pembangunan taman kota di kawasan Jl. Jakarta, dan rencana pembangunan ruang lalu lintas jalan sebagai prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan/ atau barang di kawasan kecamatan Kedungkandang. Pembangunan infrastruktur fisik dan sosial tersebut, berpotensi melahirkan ruang-ruang publik baru, sejauh ruang publik dimaknai sebagai suatu bentuk dari ruang fisik atau suatu set hubungan-hubungan yang menempati ruang, dan menegaskan suatu komunitas, baik yang terbentuk karena proses sosial alamiah, maupun yang terbentuk secara teknis melalui proses perencanaan dan perancangan. Ruang publik sendiri memiliki peranan ekonomi, kesehatan, sosial, dan lingkungan.

Iklan luar ruang yang mengepung masyarakat.
Photo by Joshua Earle on Unsplash

Sebagai tempat berkonsentrasinya massa, ruang publik memiliki peran ekonomi, yakni memberi pengaruh positif terhadap nilai properti, dan mendorong performa ekonomi regional/lokal. Pendeknya, ruang publik memungkinkan terjadinya aktivitas ekonomi, dan tidak menutup kemungkinan terjadi aktivitas promosi dan periklanan. Menyambung tulisan saya “Desain Gratis dan Perusakan Lingkungan Kota Malang” (Malang Post, 9 Januari 2015), tentang membanjirnya media iklan luar ruang yang ditempatkan secara serampangan dan masif, sudah sampai pada tahap menjajah ruang publik, dan menjadi pangkal dari permasalahan apresiasi masyarakat terhadap desain komunikasi visual/desain grafis. Polusi visual ini, dapat kita saksikan sendiri pada fasilitas-fasilitas umum di kota Malang, banner yang dipaku di pohon, rontek yang dikawat di tiang listrik, dan ratusan spanduk bertebaran disana sini. Jangan sampai, dan akan ironis sekaili, ketika ruang publik yang memiliki peranan untuk menciptakan kesempatan berkembangnya keanekaragaman hayati, meningkatkan kualitas udara, mengurangi efek heat island, dan polusi, justru menjadi ‘ekosistem’ tumbuh dan berkembangnya polusi visual.

Liarnya Iklan Ruang Ruang

Sepertinya Pemkot cukup menyadari keberadaan iklan luar ruang (reklame) yang semrawut dan sebenarnya tidak hanya merusak keindahan kota, namun juga berpotensi pencemaran lingkungan, merampas hak warga atas ruang publik dan fasilitas umum, serta secara psiko-sosiologis berdampak negatif. Hal ini berujung pada lahirnya kebijakan dari walikota yang dengan tegas melarang semua bentuk reklame insidental terpasang di ruang milik jalan (fasilitas umum) yang tertuang dalam bentuk Surat Edaran (SE) Walikota Malang Nomor 2, Tahun 2014. Kebijakan ini menuai protes dari kalangan pengusaha digital printing, yang dikhawatirkan akan mematikan usaha ‘wong cilik’, baik itu industri kecil yang bergerak di bidang reklame, maupun usaha kecil menengah yang seringkali menjadi client mereka, sehingga walikota diminta untuk mengkaji ulang kebijakannya yang sejauh ini sudah di terapkan di 15 titik di kota Malang.

Permasalahan polusi visual ini dapat terbilang cukup dilematis, di satu sisi, ia merupakan polusi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, lingkungan, dan lebih khusus profesi desainer grafis sendiri, namun di sisi yang lain, pembatasan terhadapnya dikhawatirkan akan mematikan usaha ‘wong cilik’, dan Pemkot sendiri harus rela kehilangan potensi 3 Miliar dari pajak reklame. Kebijakan selalu tidak dapat memuaskan semua orang, lalu bagaimana sebaiknya creative designer menyikapi pembatasan reklame ini?. Ketika pembatasan tersebut dikenali sebagai ancaman (threat), maka sebagai ‘orang kreatif’ sedapatnya mampu mengenali dan mengantisipasi ancaman untuk mengembangkan peluang dan mengatasi kelemahan. Akan sangat naif ketika Malang yang akan dicanangkan sebagai ‘Kota Kreatif’, kemudian ide-ide kreatif generasi muda-nya harus terpenjara, dibatasi oleh banner, baliho, rontek yang dipaku, dan bentangan spanduk saja. Adanya polusi visual, secara tidak langsung berdampak pada pendangkalan makna iklan (advertising) itu sendiri.

Iklan, dengan maknanya yang luas sebagai bentuk komunikasi massa atau komunikasi direct-to-consumer yang bersifat non-personal dan didanai oleh perusahaan bisnis, organisasi nirlaba, atau individu yang diidentifikasikan dengan berbagai cara dalam pesan iklan. Pendangkalan makna iklan telah melupakan kemasan produk sebagai iklan, POP-rack sebagai iklan, merchandise sebagai iklan, dan aktivitas-aktivitas promosi lainnya yang sejatinya juga merupakan iklan. Mungkin kita sudah pernah akrab dengan jargon-jargon seperti “setiap kemasan adalah iklan 5 detik”, “kemasan adalah iklan pertama yang disaksikan konsumen”, atau “pengemasan adalah bentuk mahal dari iklan”, dan sebagainya, namun sepertinya kita masih terjebak pada zona nyaman print-based outdoor advertising.

Bersinergi Keluar

Mencari Jalan Keluar

Menurut saya, pembatasan reklame di kota Malang dapat menjadi momentum untuk me-refresh ide-ide kreatif kita kembali, dan mulai memikirkan peralihan dari print-based menuju screen-based, atau dari traditional media advertising ke new media advertising. Hal ini membutuhkan sinergi yang saling menguatkan antara desainer grafis, pengusaha reklame, mahasiswa DKV/DG, dan khususnya institusi pendidikan DKV (kampus DKV) di kota Malang yang sekarang sudah cukup banyak. Mengenai persoalan ‘harga desain’ yang lagi-lagi harus kembali dan bertumpu kepada daya beli client yang memang pelaku usaha kecil, karena memang biaya produksi print-based outdoor advertising yang relatif murah, maka institusi pendidikan DKV disini memiliki peran yang cukup strategis. Sebagai salah satu dari implementasi Tridharma Perguruan Tinggi, institusi pendidikan DKV dapat melaksanakan fungsinya dengan melakukan pendampingan kepada UMKM sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Disini institusi pendidikan tinggi DKV memiliki jalur ‘formal’ untuk melakukan edukasi yang benar-benar terimplementasi, dan dapat dievaluasi hasilnya. Dengan memberikan pendampingan dan penyuluhan tentang kebutuhan komunikasi visual periklanan produk UMKM, diharapkan kesadaran beriklan dengan kreatif dan bijak akan tumbuh pada pelaku UMKM. Hal ini tentunya sejalan dengan harapan industri kreatif, yakni apresiasi yang layak oleh masyarakat terhadap produk kreatif, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi keduanya untuk bersinergi. Alih-alih menghasilkan sarjana siap pakai, institusi pendidikan tinggi DKV seringkali terjebak dalam dinding akademik, sehingga tak ada ubahnya seperti ‘pabrik’ yang memroduksi sarjana ‘mesin penghasil logo’, ‘mesin vektor’, atau ‘mesin layout’ yang mampu menghasilkan layout/desain banner 20 buah sehari. Pendidikan tinggi DKV, sedapatnya mampu berkontribusi nyata kepada masyarakat, ilmu pengetahuan, dan khususnya industri kreatif.


Sepertinya, diversivikasi media iklan cukup menemukan urgensinya di kota Malang. Kalau tidak ingin kreativitas menjadi mandeg karena terjebak pada media iklan yang itu-itu saja, dengan pesan iklan yang juga itu-itu saja, maka aktivitas-aktivitas kreatif, baik dalam bentuk diskusi, eksebisi, maupun kompetisi yang bertujuan kreatif secara umum, atau khusus pada permasalahan periklanan menjadi wajib hukumnya untuk dilakukan secara konsisten di kota Malang. Sepertinya apa yang telah digagas oleh ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) - Chapter Malang dalam menginisiasi eksebisi bersama rancangan environmental-new media advertising dengan merangkul mahasiswa dan desainer kota Malang dalam beberapa waktu kedepan, perlu diapresiasi. Mengutip perkataan Daniel Surya (CEO dari WIR Group),”Kalau semuanya sama, maka yang terjadi bukan perang kualitas karya, namun perang harga”, artinya, terjebak pada media iklan yang itu-itu saja memungkinkan persaingan yang tidak sehat dan kontra-produktif karena kreatifitas yang mandeg. Mudah-mudahan dapat menjadi pertimbangan bagi kita semua. Semoga.

Protected by Copyscape

Creative Commons License

Posting Komentar

0 Komentar