Header Ads Widget

Header Ads

Design Lead The Way : Dari Bandung untuk Indonesia Bebas Sampah Makanan

Food waste atau sampah makanan telah menjadi perhatian dunia setidaknya satu dekade terakhir. Di banyak negara, food waste dianggap menjadi ancaman ketahanan pangan. Bandung Food Smart City melansir bahwa Indonesia mendapatkan peringkat kedua negara yang banyak membuang makanan. Tulisan berikut mencoba menggali inspirasi dari Bandung dan beberapa belahan dunia yang lain untuk mewacanakan gaya hidup minim sampah makanan, dan terutama untuk Indonesia bebas sampah makanan. Desain sebagai problem solving dan inovasi seharusnya mampu memecahkan masalah ini. Seperti apa? Simak uraian berikut.

Daftar Isi


Bandung Kota Kreatif, dalam Amatan “Bukan Orang Bandung”^

Meskipun tidak pernah lama di Bandung, sebagai “orang desain”, saya memiliki impresi tersendiri terhadap kota ini, terutama karena kreativitasnya yang “menyejarah”. Bagaimana tidak? Ibarat sungai, di kota ini mengalir deras dan gejolak – dinamika kreativitas; dan menurut saya merupakan “sarang” sekaligus arena bagi orang untuk “beradu” visi kreatif; baik seniman, sastrawan, desainer, arsitek, maupun ilmuwan sains. Pada tahun 1978, sekembalinya ke tanah air, A.D. Pirous merintis program studi desain grafis di Seni Rupa ITB, dan mendirikan studio seni dan desain bernama Decenta. Semenjak itu, keilmuan seni dan desain semakin berkembang, tidak hanya eksis pada ranah praksis-industri, namun juga pada ranah akademis.[1]

Bandung Kota Kreatif berbasis Desain. Gambar oleh Bin_Suyardi dari Pixabay This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License  

Semenjak tahun 2000-an, Bandung dikenal sebagai “Paris van Java” karena industri fesyen.[2] Bandung dikenal sebagai pusat industri kreatif terbesar di Indonesia. Pada periode 2002-2006, dari sekitar 2,5 juta perusahaan kreatif di Indonesia, 6,15% dari Bandung, atau 5% dari total tenaga kerja industri kreatif Indonesia.[3] Pemerintah kota Bandung menyatakan bahwa 56% dari kegiatan ekonomi di kota ini berhubungan dengan desain, fashion, dan media digital. Tak heran, di tahun 2015, Bandung ditetapkan sebagai Kota Kreatif Dunia untuk kategori ‘desain’ oleh UNESCO.[4]

Food Waste : Tantangan Kota Kreatif^

Tahun 2016 saat subsektor kuliner “memimpin” Ekraf kota Bandung, sampah styrofoam di kota ini mencapai 27 ton/bulan. Hal ini kemudian memunculkan larangan penggunaan styrofoam di Bandung.[5] Sampah styrofoam 27 ton/bulan tersebut sudah termasuk 160 ton sampah plastik (anorganik) yang dihasilkan Bandung setiap harinya, dan ini adalah 30% dari total sampah kota Bandung. Lalu sisanya? 70% sampah kota Bandung ternyata adalah sampah organik yang berasal dari bahan-bahan yang dibuang oleh pemilik/pengolah, atau sisa makanan.[6]

Tukang Sampah di Buah Batu - Bandung. Foto oleh MangAndri Kasep (Flickr.com). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License  

Riset oleh Rikolto bersama Universitas Katolik Parahyangan mengatakan bahwa Bandung menghasilkan 1300 ton sampah setiap harinya, 45% diantaranya sampah organik, dan sebagian besar merupakan sampah pangan/food waste.[7] Dalam riset yang sama, 33% responden (tinggal di Bandung) menunjukkan membuang makanan yang tidak habis di konsumsi.[8] Food waste membawa dampak negatif terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi pada keseluruhan proses rantai makanan.

Perlakuan Responden Terhadap Makanan yang Tidak Habis Dikonsumsi. 33% akan membuang makanan yang tidak habis. Sumber : Prasetyo, P.S. Dkk., (2019) 


Bayang-bayang Food Waste dan “Design as Activism”^

Apa itu food waste? Jadi, istilah “Food looses” mengacu kepada penurunan massa makanan di sepanjang rantai pasokan makanan untuk konsumsi manusia. Sebagaimana yang dilansir FAO; ketika penurunan massa makanan terjadi di akhir rantai makanan, maka ia disebut sebagai food waste.[9] Ada beragam penyebab timbulnya food looses/food waste, sebagaimana FAO yang mengemukakan setidaknya 10 penyebab.[10] Namun bagi saya, yang paling signifikan adalah sikap boros dan perilaku konsumtif masyarakat terhadap makanan. Bandung Food Smart City melalui akun media sosialnya mengemukakan penyebab food waste terdapat pada; 1) Penyimpanan kurang tepat; 2) Masak berlebihan (overproduction); 3) Porsi yang terlalu banyak; 4) Cosmetics standard – memilih/makan berdasarkan tampilan; 5) Bingung membaca label makanan; dan 6) Belanja terlalu banyak (konsumtif). Walhasil, setidaknya 13 juta ton makanan di Indonesia pada setiap tahunnya, dan hal itu setara dengan 500 kali berat Monas, dan dapat dikonsumsi oleh 28 juta orang Indonesia atau 11% jumlah penduduk Indonesia.[11]

Infografis : Biaya Mahal dari Sampah Makanan. Infografis oleh Global Landscapes Forum. This work is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0).

Apakah ini masalah? Tentu saja, sementara 13 juta ton makanan di Indonesia terbuang, di waktu yang sama, ketersediaan pangan di Indonesia semakin rentan karena alih fungsi lahan pertanian yang semakin meningkat dan sulit mengalami perluasan. Artinya, produksi makanan semakin menurun, namun jumlah penduduk semakin banyak. Hal ini menjadi ancaman bagi masa depan bangsa Indonesia. Bandung sebagai Kota Kreatif yang berkekuatan utama desain, harusnya telah siap dengan beragam solusi, karena “desain” telah mencakup problem solving dan inovasi. Namun hendaknya kita tidak terpaku pada cara pandang “design as product” yang melihat desain sebatas objek-objek belaka, lebih dari itu, “design as activism” yang menghendaki suatu perubahan.


Design Lead The Way : Aktivisme Desain dari Bandung untuk Indonesia^

Design as activism atau aktivisme desain adalah melakukan perubahan dengan menciptakan ide-ide baru untuk jenis masalah yang baru. Aktivisme desain membangun kekuatan dengan memberikan visi yang meyakinkan tentang kehidupan yang lebih baik kepada masyarakat. Dalam tujuan mewacanakan gaya hidup minim sampah makanan, bentuk-bentuk aktivisme desain apa yang dapat dilakukan? Bandung sebagai kota kreatif berbasis desain, saya yakin, tak akan menemui kesulitan berarti dalam mewujudkan beberapa hal di bawah ini.

Food Waste Awareness Campaign

Keahlian teknis desainer grafis profesional di Bandung tak diragukan lagi, namun menjalin visi antar desainer untuk sebuah perubahan sosial merupakan tantangan tersendiri. Poster sebagai media komunikasi visual memiliki peran sentral dalam menggerakkan perubahan-perubahan dan mengobarkan semangat-semangat di sepanjang sejarah peradaban manusia. Kampanye reduksi sampah makanan agaknya cukup efektif ketika menggunakan medium poster yang tentu tidak terbatas printed poster, namun juga digital poster yang terdistribusi melalui media sosial dan website.

Serial oleh Desainer Grafis Studio Venturethree London. The copyright of the posters rests with the respective creators. This image is licensed under Attribution-NonCommercial 4.0 International (CC BY-NC 4.0)

Graphic Design Against Household Food Waste, oleh Rita CabralThis work is licensed under Attribution-NonCommercial 4.0 International (CC BY-NC 4.0)

Mungkin yang dilakukan oleh para desainer grafis studio Venturethree London dapat menginspirasi. Mereka membuat serial poster yang membuat orang berpikir ulang ketika membuang makanan.[12] Poster tersebut sebagian dapat diunduh secara gratis oleh masyarakat untuk dicetak secara mandiri, sebagian lain diperjualbelikan melalui website. Atau Rita Cabral yang dalam proyek Graphic Design Against Household Food Waste mencoba untuk menciptakan kesadaran tentang limbah makanan rumah tangga dengan cara yang tidak merendahkan atau sombong.[13] Tapi menurut saya yang paling menarik adalah desainer grafis asal Denmark Selina Juul. Melalui gerakan Stop Wasting Food dan kampanye “Eat Your UFO’s (Unidentified Frozen Objects)”, Selina Juul beserta partisipan mampu mengurangi 25% sampah makanan Denmark. Apa yang dilakukan Selina Juul lebih jauh dapat dilihat pada video di bawah ini.


Beralih ke “Smart Packaging”

Desain kemasan menjadi “potongan” antara wilayah Desain Komunikasi Visual dan Desain Produk Industri. Tak dapat dipungkiri bahwa material plastik pada kemasan makanan memiliki peran besar dalam menjaga kualitas makanan pada saat distribusi dan menjaga kesegarannya. Namun penggunaan berlebihan kemasan plastik sekali pakai akan memunculkan masalah lain. Reusable - resealable packaging mungkin menjadi pilihan efektif di samping “memainkan” ukuran kemasan untuk memberikan kesadaraan porsi yang tepat. Sejauh ini, resealable packaging yang beredar di pasaran memiliki bentuk yang sangat konservatif. Ini menjadi tantangan bagi desainer grafis untuk memberikan visual yang menggugah, atau bahkan eksplorasi lebih jauh terhadap bentuk dan user experience oleh desainer produk. Desainer dapat mulai mewacanakan penggunaan resealable packaging kepada klien, baik dalam skala korporat hingga UMKM atau IKM.

Smart Packaging dan Resealable Packaging pada produk Chips Ahoy. Foto oleh Packagingeurope.com dan Dan Studnicky (Flickr.com). This work is licensed under Attribution-NonCommercial-ShareAlike 2.0 Generic (CC BY-NC-SA 2.0)


Meningkatkan Kualitas Hidup dengan Desain Produk Industri

Ketika desainer mengembangkan konsep suatu produk, maka susungguhnya desainer sedang mengembangkan nilai produk bagi keseharian masyarakat. Well-executed design, melalui user experience, fungsionalitas, dan nilai terhadap gaya hidup akan meningkatkan kualitas hidup pengguna, dan oleh karena itu, dalam situasi komunal punya potensi besar menstimulasi perubahan sosial. Dalam tujuan meminimalisir sampah makanan, produk dapat berkaitan langsung dengan “teknis” pengolahan sampah makanan; atau bekerja pada tataran gaya hidup.

Housewarming kit“All The Best” oleh Michael Jenkins dan food waste recycling machine (prototype) oleh Shada BennbaiaThe copyright of those designs rests with the respective creators. This Image is licensed under Attribution-NonCommercial-ShareAlike 2.0 Generic (CC BY-NC-SA 2.0)

Dengan tujuan membuka wacana dan kesadaran mengenai food waste, serta membentuk kebiasaan baru bagi orang yang menempati rumah baru, desainer Australia, Michael Jenkins merancang housewarming kit dengan label “All The Best”. Produk tersebut merupakan perlengkapan rumah tangga yang didalamnya terdapat pesan mengenai pengolahan dan penyimpanan makanan dengan lebih efisien.[14] Dalam hal ini, desain produk bekerja pada tataran gaya hidup. Pada lini yang berbeda, food waste recycling machine (prototype) yang dirancang oleh Shada Bennbaia (Qatar), akan bekerja langsung pada pengolahan food waste. Project tersebut mengembangkan alat pengolah sampah makanan yang fokus pada estetika dengan mendesain mesin yang elegan dan cocok ditempatkan di dapur manapun.[15]

Kemungkinan UI/UX Design

Tak dapat dipungkiri, kini teknologi punya andil yang cukup besar dalam membentuk gaya hidup konsumen. Penggunaan smartphone berikut ragam aplikasi untuk penyelesaian masalah keseharian sudah menjadi hal yang sangat lazim; mulai dari masalah kesehatan, transportasi, hingga olahraga. Interaksi antara manusia dan aplikasi merupakan interaksi antara manusia dengan komputer (Human Computer Interaction – HCI), maka desain User Experience (UX) memiliki peran signifikan dalam membentuk persepsi dan perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan suatu sistem.

Tampilan antarmuka halaman donatur dari aplikasi yang dikembangkan Amanda Cheung. Prototype ada di sini. Hak cipta ada pada Amanda Cheung.

UI/UX designer Amanda Cheung melihat hal ini sebagai peluang untuk mereduksi food waste. Bermitra dengan lembaga keamanan pangan Second Harvest, Cheung merancang aplikasi yang menghubungkan donatur makanan, mitra/pengirim (driver), agensi (lembaga sosial), dan orang yang membutuhkan makanan.[16] Dengan intensi yang sama, desainer asal Australia, Aurelie Perthuis, merancang The Personal Meal Planner untuk mengatur makanan sehari-hari sehingga mengurangi limbah makanan.[17] Dalam konteks Bandung, tentu saja UI/UX designer harus berkolaborasi bersama pengembang aplikasi, semisal dalam bentuk start up.

Sebagai sebuah aktivisme, beberapa hal di atas tentu tidak mudah dilakukan, dibutuhkan visi bersama, gerakan sosial - masif, dan juga dukungan dari banyak pihak. Namun, dalam pandangan saya, Bandung sebagai kota kreatif berbasis desain sudah memiliki sumber daya dan infrastruktur yang relatif lebih siap dibanding kota-kota lain di Indonesia. Jika aktivisme desain untuk menumbuhkan gaya hidup minim sampah makanan ini dimulai dari Bandung, bukan tidak mungkin, akan menjadi role model/pilot project yang mampu menginspirasi kota-kota lain di Indonesia untuk menjadi “Kota Cerdas Pangan” bebas sampah makanan. Dari kreativitas yang menyejarah - dari Bandung untuk Indonesia bebas sampah makanan.

So, let design lead the way!

Creative Commons License
Sebelum diunggah, telah dilakukan similiarity check terhadap manuskrip artikel ini pada tanggal 16 Mei 2021, dalam 1.493 kata (di luar caption, catatan kaki, daftar isi, dan judul), dengan hasil 2,5%. Result of analysis dapat dilihat di sini.

food waste, sampah makanan, minim sampah makanan, food looses, bandung, bandung food smart city, food smart city, desain, desain grafis, desain komunikasi visual, waste, lingkungan hidup, eco graphic designer, desainer grafis, desain produk industri, aktivisme desain, design as activism, gaya hidup, desain kemasan, packaging, packaging design, user experience, user interface, poster design, desain poster, kampanye sosial, perubahan sosial.

---------------------------------------

Catatan Kaki

[1]Rizal, E.S. & Maulana S., (2021), Redefinisi Desain : Menghubungkan Makna Desain dengan Mentalitas Berinovasi, Bandung, CMYKPress. Hlm. 58
[2]Achwan, R. (2013), “Kelekatan Kelembagaan : Industri Distro Fesyen di Bandung”, dalam Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 18, No. 2, Juli 2013 : 139 – 160.
[3]Freya, M.G. (2015), “Analisis Terhadap Para Pekerja Industri Kreatif di Kota Bandung”, Skripsi, Program West Java Field Study Research dari The Australian Consortium for In Country Indonesian Studies (ACICIS), Universitas Katolik Parahyangan. Hlm. 1
[4]Soeriaatmadja, K. (2017), “Consumer Tribe dan Industri Gaya Hidup di Bandung, Indonesia”, dalam Jurnal Keamanan Nasional, Vol. 03, No. 1, Mei 2017 : 150 – 165.
[5]Chahyati, Y., (2016), Sampah Styrofoam di Bandung 27 Ton Perbulan, dalam Ayobandung.com, 16 Oktober 2016, Link , diakses pada tanggal 10 Maret 2021
[6]Yudistira, CBD., (2019), Ada 160 Ton Sampah Plastik Setiap Harinya di Bandung, Kebanyakan dari Toko Ritel, dalam Okezone.com, 3 Desember 2018, Link , diakses pada tanggal 10 Maret 2021
[7]Prasetyo, P.S. Dkk., (2019), Bandung Kota Cerdas Pangan : Produksi dan Konsumsi Pangan yang Bertanggungjawab untuk Keberlangsungan Bumi, Penerbit Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Hlm. 15
[8] Ibid. Hlm. 62
[9]Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), (2011), Global food losses and food waste – Extent, causes and prevention, Hlm. 7
[10]Ibid., Hlm. 10-14.
[11]Prasetyo, P.S. Dkk., Op.Cit. Hlm. 13
[12]Cowan, K. (2017), Designers At Venturethree Create Graphic Poster Series to Highlight Food Waste, dalam Creative Boom, 13 Maret 2017, Link , diakses pada tanggal 14 Mei 2021.
[13]Cabral, R. (2013), Master of Arts Major Project in London College of Communication : Graphic Design Against Household Food Waste, dalam Behance, Link , diakses pada tanggal 14 Mei 2021
[14]Oxfam Australia, (2013), Design For Change : 15 Solutions to Reduce Young Peoples Food Waste in Australia, Designforchange.org.au.
[15]Bennbaia, S., (2018), "Towards Sustainable Society: Design of Food Waste Recycling Machine", dalam Proceedings of the International Conference on Industrial Engineering and Operations Management, Bandung, Indonesia, 6-8 Maret 2018. Hlm. 1340 – 1353.
[16]Cheung, A. (2017), UX Case Study: Designing a Solution to Food Waste, Link , diakses pada tanggal 16 Mei 2021.
[17]Oxfam Australia, Op.Cit.

Posting Komentar

16 Komentar

  1. Sampah bukan hanya tanggung jawab petugas sampah namun tanggung jawab bersama

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul pak, ada baiknya semisal tiap keluarga punya cara mengelola sampah rumah tangganya sendiri. Meringankan petugas sampah juga..👍

      Hapus
  2. Kadang kita nggak ngerasa tu buang-buang makanan. Padahal ada banyak orang yang sulit mendapatkannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sis, itu problemnya, dikit2 g kerasa..kalo dikumpulin banyak jg..hehehe..

      Hapus
  3. mudah mudah bisa di manfaatin buat pakan ternak atau pupuk

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul pak..kalo buat pakan ternak atau pupuk, kembalinya nanti jg ke manusia lagi..daging dan sayuran 😄

      Hapus
  4. mantap sekali keren dan menarik, bagi kalian yang tertarik dengan dunia IT bisa baca juga loh di https://blog.rajait.id

    BalasHapus
  5. Sampah udah jadi masalah sih dari dlu...makanya mulai sekarag stop menggunakan plastik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mas, tp plastik jg punya andil mengawetkan makanan..mungkin dikurangi, dikelola, dan klo terpaksa menggunakan reusable plastic/packaging..

      Hapus
  6. Ngerii juga yah indoesia menempatin rangking ke2 masalah samoah makanan,,

    Antara bangga dan kecewa sih hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bangga dong boss..prestasi ini.mhahahahaha..thx kunjungannya boss..👍

      Hapus
  7. Balasan
    1. Iyap..sampah organik sekalipun kalo tdk dikelola dgn baik jg bisa memunculkan masalah..👍

      Hapus
  8. Asyik nih tulisannya. Sy suka ambil angle-nya dari sudut pandang desain untuk menciptakan masyarakat berwawasan kebangsaan tapi minim sampah makanan. Salam blogger. mampir-mampir ya, gan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi semisal STMJ itu 12 butir telur bebek, kulitnya bisa dihancurkan untuk menambal lubang paku pada kayu atau meja/kursi yg keropos dimakan rayap..tentu setelah mencampurnya dengan lem kayu dan kalsium/rollcut (bahan plamir). Besok saya ke rumah anda untuk mendemontrasikannya..jadi STMJ tdk hanya menambah daya tahan tubuh tp juga kekuatan mebelair di rumah kita. Begitu. Bisa dipahami ya...

      Hapus