Header Ads Widget

Header Ads

Desain Gratis dan Pencemaran Lingkungan : Apa Hubungannya?

Tulisan ini sekadar opini saya dalam merespon dan melanjutkan diskusi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) chapter Malang, dengan tajuk “Wani Piro? : Ngobrolin Harga Desain di Malang”. Pada saat itu memang ada beberapa hal di dalam pikiran saya yang memang belum sempat terutarakan, seperti isu tentang polusi visual, pencemaran lingkungan, desain gratis, dan beberapa hal terkait desain, bisnis, lingkungan hidup, dan masyarakat. Opini ini mudah-mudahan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam diskursus Desain Grafis/DKV dalam konteks urban-perkotaan, utamanya di kota Malang, baik dari segi keilmuan maupun profesional/industri.

Daftar Isi


Subbab 1

Desain Grafis dan Masyarakat Perkotaan^

Persoalan design fee, desain gratis, ataupun free-pitching memang bukan isu yang baru dalam diskursus desain grafis/DKV di Indonesia, tidak hanya ada di kota Malang, persoalan tersebut merupakan isu Nasional. Saya berpendapat, permasalahan ini merupakan permasalahan sosiologis, sehingga jalan keluar yang ditawarkan juga harus bersifat sosiologis, atau sosio-kultural. Saya juga berpikir, tanpa bermaksud mengesampingkan, bahwa ini bukan hanya permasalahan estetis, yang dapat diselesaikan dengan mempertajam skill/teknik pengkaryaan, menambah kemampuan penguasaan software, mengumpulkan portofolio sebanyak-banyaknya, atau mengikuti ajang kompetisi untuk menambah deretan prestasi.

Desain akan berkembang seiring dengan perkembangan industri, dimana ada geliat indutrialisasi, disitu pula desain tumbuh dengan subur. Yang perlu dipahami disini, desain tidak melulu terkait dengan estetisme dan promosi, lebih luas dari itu, ia merupakan produk kebudayaan hasil dari dinamika sosial, teknologi, ekonomi, kepercayaan, perilaku, dan nilai-nilai yang tangible maupun intangible yang ada di masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Peningkatan konsentrasi penduduk berdampak pada pertumbuhan ekonomi kota Malang, terutama pada sektor industri rumah tangga hingga skala kecil. Hal ini tentunya perlu mendapat apresiasi. Kondisi kota Malang yang cukup padat, dan kerapkali terjadi kemacetan, serta rutinitas pekerjaan yang sehari hari yang membutuhkan efisiensi dan efektifitas mendorong masyarakat kota Malang dari kelas pekerja - menengah memilih gaya hidup praktis modern, dan memunculkan pertumbuhan industri dengan segmen tersendiri. Gaya hidup praktis modern mendorong bertumbuhnya usaha properti/real estate yang menjajakan rumah minimalis dan dekat dengan kawasan perkantoran/kampus, kredit kendaraan bermotor, shopping-mall, makanan cepat saji, bisnis ritel elektronik, cofeeshop, dan lain sebagainya. Pendeknya, ekonomi kota Malang mengalami peningkatan cukup signifikan, baik pada sektor UMKM/IKM, maupun bisnis skala menengah hingga besar.

Desain Gratis "Selamanya". Sampai kiamat?. Dokumentasi pribadi. This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License  


Rontek, Iklan Gurem, dan Dilema-dilema Lainnya^

Dalam bisnis, tentunya diperlukan media promosi, pertumbuhan ekonomi yang signifikan, selalu dibarengi dengan banjirnya media komunikasi pemasaran, baik itu di media massa, ruang maya, maupun ruang publik. Karena pertumbuhan ekonomi di Malang ini memang sebagian besar terjadi pada sektor UMKM, maka media komunikasi bisnis yang dipergunakan syarat utamanya tentu harus murah biaya produksinya. Mula-mula iklan luar ruang dilakukan industri skala menengah hingga besar/korporat, dengan kemampuan finansial yang cukup untuk menyewa space iklan seperti billboard, dan ruang-ruang pemasangan spanduk yang “resmi” di beberapa titik di kota Malang. Pemasangan iklan tersebut memiliki regulasi khusus oleh dinas perijinan yang berkoordinasi dengan pemerintah kota/kabupaten, sehingga memiliki prosedur yang khusus pula. Namun saat ini industri/bisnis skala kecil menengah pun berlomba-lomba membuat media iklan luar ruang berbasis printing, dan dilakukan tanpa melalui regulasi atau prosedur yang sudah ditetapkan oleh pihak berwenang. Menjamurnya media komunikasi bisnis “ilegal” ini, kemudia juga “menular” ke industri skala menengah hingga besar/korporat, sering kita melihat rontek, banner, spanduk iklan toko komputer, café, atau perumahan/real estate juga dipasang seenak udel di pinggir jalan, terutama titik-titik keramaian dan kesemrawutan di kota Malang.

Kondisi Iklan Luar Ruang : "Semrawut tiada tara". Dokumentasi Pribadi. This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License  

Membanjirnya media iklan luar ruang ini juga didukung oleh biaya produksi (printing) yang pada saat ini relatif murah, dan semakin murah. Hal ini memungkinkan pelaku bisnis dengan skala apapun mampu memanfaatkan iklan luar ruang dengan beraneka macam ukuran. Membanjirnya media iklan luar ruangan menurut saya sudah pada tahap merusak lingkungan, dan apapun yang merusak/mengganggu lingkungan dapat dikategorikan sebagai “polusi”, dan inilah mungkin yang disebut sebagai “polusi visual”. Meminjam istilah Pemerhati Budaya Visual dan Dosen DKV ISI Yogya, sekaligus guru saya; Pak Sumbo Tinarbuko, maka media iklan luar ruang seperti inilah yang disebut sebagai “Sampah Visual”. Sampah visual di kota ini, benar-benar sudah menjajah ruang publik dan melukai alam. Sebut saja banner/rontek yang dipaku di pohon, dipasang saling tindih menindih, diletakkan di tengah-tengah trotoar sehingga merampas hak pejalan kaki, dibiarkan begitu saja ketika masa iklan telah usai sehingga benar-benar menjadi sampah yang buruk rupa dan pencemaran lingkungan oleh bahan plastik. Menurut saya, “penyalahgunaan” luaran desain grafis (salah satunya iklan) yang melukai lingkungan inilah yang menjadi pangkal Desain Grafis/DKV tidak mendapatkan apresiasi yang sewajarnya ketika dihadapkan kepada publik.

"Iklan" luar ruang "menjajah" ruang publik dan merampas hak pejalan kaki. Penindasan oleh "wong cilik" terhadap "wong cilik"?. Dokumentasi pribadi. This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License  

Bagaimana mau “mahal”? Jika yang diproduksi hanyalah “sampah” belaka. Bagaimana mau “berharga”? Jika yang diproduksi kemudian merampas hak orang lain dan mengotori ruang publik. Bagaimana mau bermanfaat? Jika apa yang diproduksi pada akhirnya justeru menimbulkan kerugian. Mungkin kata “sampah” disini terlalu vulgar atau kasar, rontek/banner buruk rupa yang terpaku di pohon itu mungkin saja menjadi sesuatu yang berarti bagi pedagang kecil. Namun, apakah dapat dibenarkan melakukan kerusakan dengan mengatasnamakan “wong cilik”?. Pemasangan reklame dengan cara dipaku pada batang pohon pinggiran jalan, merupakan pelanggaran. Tidak hanya pamflet, namun juga baliho, banner, maupun spanduk. Disamping itu juga terdapat iklan-iklan gurem yang dikawat di tiang-tiang listrik, ditempel di tembok/gardu listrik, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh pemasang iklan, dan berakhir menjadi “sampah beneran”. Ada juga yang diletakkan di trotoar, sehingga pejalan kaki terpaksa turun ke jalan untuk menghindari banner, laju kendaraan menjadi melambat, dan diperparah oleh jumlah kendaraan yang semakin banyak, walhasil, kemacetan dan kesemrawutan pun tak terhindarkan. Pak Sumbo Tinarbuko juga berasumsi bahwa iklan luar ruangan, yang isinya didominasi dorongan untuk konsumsi, punya andil memancing pengendara motor di jalanan makin agresif, sebab hasratnya meraih sesuatu terlalu sering dibangkitkan. Banyak pengendara makin beringas, menerobos rambu, ngebut dan membunyikan klakson jadi budaya di jalanan.

Dari "sampah visual" ke "sampah beneran". Dokumentasi Pribadi. This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License  


Pertaruhan Nilai Desain Grafis^

Berbicara masalah harga, tidak lain berbicara tentang nilai atau value. Adapun value desain bersifat kualitatif, yang kemudian “dikonversi” menjadi kuantitatif dengan satuan rupiah. Secara teoretik, nilai yang ada pada karya desain meliputi 1) Nilai Intrinsik, dan 2) Nilai Ekstrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang ada dalam karya itu, terdapat pada “bentuk”-nya, yang ditimbulkan oleh hubungan warna-warna, garis-garis, dan bentuk-bentuk, dengan kata lain, sebuah kualita yang muncul atas implikasi penguasaan teknis dan penguasaan pengolahan medium tertentu. Sedangkan nilai ekstrinsik ialah sebuah kualita yang terbentuk dari susunan arti-arti di dalam (makna dalam) dan susunan medium indrawi (makna kulit) yang menampung semua proyeksi dari makna dalam. Sebagai contoh dari nilai ekstrinsik adalah pesan iklan yang unik, bahasa ungkap iklan yang unpredictable, dan lain sebagainya. Pendeknya, nilai intrisik dan nilai ekstrinsik adalah “nilai bentuk” dan “nilai isi”. Dalam hubungannya dengan permasalahan sampah visual, saya berpendapat, dan mencoba menambahkan nilai yang ketiga setelah kedua nilai yang telah dijelaskan tersebut, sebuah nilai yang kerapkali dilupakan oleh pekerja seni ataupun desain, yakni 3) Nilai Spasio-temporal (Spatio-temporal value), sebuah nilai yang kerapkali membunuh kedua nilai sebelumnya. Spatio-temporal value ialah nilai yang terbentuk (yang menjadi ada) ketika karya desain bersinggunggan, atau direlasikan dengan ruang (lingkungan), dan waktu (timing). Sampah visual, merupakan suatu fenomena absen-nya nilai spasio-temporal dalam desain, gagalnya sebuah desain ketika harus berinteraksi dengan ruang dan waktu. Dari sini, saya berpendapat bahwa skill dan portofolio saja tidak cukup menjadi unsur kualitas karya kita, diperlukan sebuah kesadaran dan kepekaan lingkungan, karena karya desain tidak hanya melulu bersinggungan dengan manusia (klien, desainer, dan target audience), namun juga dengan lingkungan alam, dan juga waktu.

Kota Malacca : Tak perlu gedung pencakar langit untuk "indah". Cukup bebas rontek dan spanduk liar saja. Photo by Siti Rahmanah Mat Daud on Unsplash. This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License  

Berani taruhan, desain-desain yang semacam itu (sampah visual) harganya murah, bahkan gratis. Semakin lestari sampah visual, semakin lestari desain gratis. Ketika seorang desainer grafis kemudian memroduksi sampah visual, maka ia telah melestarikannya, berikut juga "ideologi" desain gratis-nya. Mengapa ada polusi visual? Karena hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan oleh siapapun, ada kesempatan dan juga ada ruang untuk melakukan itu. Sering saya mendengar tentang keluhan rekan-rekan desainer grafis tentang harga desain di Malang yang kurang bersahabat, dan permasalahan kembali bertumpu kepada “daya beli” klien, yang memang mereka justru ingin dibuatkan desain dalam kategori sampah visual.

Hal ini terjadi karena kota Malang telah menjadi “katalog” besar sampah visual, yang menjadi referensi bagi masyarakatnya, dan punya andil besar dalam membentuk frame masyarakat terhadap desain grafis/DKV. Perda sebenarnya sudah mengatur tentang hal itu, tetapi dalam pelaksaannya, seringkali terjadi “improvisasi”. Ambil contoh di (lagi-lagi negara maju) Australia, Amerika, atau negara-negara di Eropa dan juga Jepang, tidak ada ceritanya iklan-iklan bertebaran di pohon-pohon, tiang listrik, dan fasilitas publik lainnya, dan harus diakui, desain grafis mendapatkan apresiasi yang cukup layak dari masyarakatnya. Misalkan, sampah visual benar-benar dilarang habis, tidak boleh ada rontek-rontek dan banner yang dipaku di pohon, ditempatkan sembarangan, tidak ada spanduk-spanduk yang ditali di pohon. Lalu bagaimana dengan pengusaha kecil yang ingin memasarkan produk/jasanya? Bagaimana dengan pengusaha bisnis digital printing yang pada akhirnya harus mengalami penurunan omset yang cukup tajam? Bagaimana dengan pemerintah daerah yang kehilangan (sebagian kecil) pendapatannya?. Tetapi, jika sampah visual terus menerus di lestarikan, lambat laun, cepat atau lambat, dan sudah terjadi saat ini, desain grafis tidak mendapat apresiasi yang wajar dari publik. 

Perlu jalan keluar sosiologis yang cukup kompleks, karena akan melibatkan kepentingan banyak pihak. Mudah-mudahan, suatu saat dapat menjadi diskusi selanjutnya.

Creative Commons License

Desain Grafis, Desain Grafis Indonesia, Desain Gratis, Asosiasi Desain Grafis Indonesia, ADGI, Sampah Visual, Polusi Visual, Desain Komunikasi Visual, DKV, Kerusakan Lingkungan, Pencemaran Lingkungan, Lingkungan Hidup, Reklame, Iklan Luar Ruang, Iklan, Billboard, Baliho, Spanduk, Rontek, Printing, Percetakan, Cetak, Digital Printing, Desain Murah, Desain Grafis Murah, Desain Grafis Gratis.

Posting Komentar

0 Komentar