Header Ads Widget

Header Ads

Urban Community Green Jobs sebagai Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan

Selama kemajuan ekonomi-industri suatu negara hanya diukur dengan neraca tunggal Pendapatan Domestik Bruto - PDB, maka segala macam pembangunan ekonomi akan tetap cenderung eksploitatif, baik kepada manusia maupun lingkungan hidup. Kegiatan ekspoitasi yang dilakukan oleh korporasi, kerap merusak lingkungan. Artikel ini mencoba mengelaborasi kemungkinan-kemungkinan kegiatan ekonomi yang dapat dilakukan secara swadaya oleh komunitas urban-perkotaan; dalam hal ini masyarakat kampung. Di samping pekerjaan tersebut mampu memberikan ketahanan ekonomi secara komunal, ia juga harus layak, dan harus dapat dilakukan tanpa merusak lingkungan. Apa yang sebaiknya dilakukan untuk Mendorong Ekonomi Hijau Berkelanjutan melalui Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berbasis Lingkungan? Uraian berikut membincangkan beberapa jenis Urban Community Green Jobs sebagai bagian dari 1000 Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan.

Daftar Isi


“Tentu Saja!”, Mari Menakar Kerusakan Lingkungan di Indonesia ^

Tentu saja, saya sepakat – membeli air mineral dalam kemasan, lalu meneguknya hingga tandas di tengah terik matahari, di samping nikmat juga membebaskan kita dari derita rasa dahaga. Praktis pula, kita hanya tinggal membelinya di toko ritel modern, dan ketika raib isinya, tinggal buang botolnya. Di buang di mana? Bisa di mana saja. Tentu saja, kita merasa menghemat waktu ketika membuat minuman instan, tumpahkan saja isinya ke dalam gelas, tuangkan air panas, maka jadilah segelas kopi yang cita rasanya – bisa jadi – tak kalah dengan racikan kedai kopi global asal Amerika Serikat itu. Namun demikian, jangan lupa buang sachet-nya.

Sampah plastik yang sukar terurai. Photo by John Cameron on Unsplash. This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

Tentu saja, di samping solusi paling murah, penggunaan kantong plastik juga sangat praktis oleh karena memudahkan kita berbelanja. Setelah selesai tinggal buang, bersama dengan kemasan barang-barang yang sudah dibeli, yang sudah dapat dipastikan juga menggunakan material plastik. Di samping itu, di kantong plastik itu pula terpampang logo tempat kita berbelanja. Hal ini penting, karena menunjukkan status sosial kita sebagai “kelas menengah sejahtera” yang mampu berbelanja di supermarket. Tentu saja, lebih bergaya di hadapan tetangga. Tentu saja, di samping memiliki resiko kesehatan paling kecil, penggunaan styrofoam untuk kemasan makanan sangat praktis dan boleh-boleh saja.[1] Setelah tandas isinya, tinggal buang saja – meski industri daur ulang di Indonesia masih seumur jagung – toh masih ada bapak pemulung yang akan berjawab-tanggung.

Tentu saja.

Beberapa peristiwa tersebut mungkin telah menjadi keseharian kita (untuk tidak mengatakan diri saya). Di tengah-tengah menjalani kesibukan dan kewajiban ragam profesi, atau setelah mendapat manfaat dari mengonsumsi produk, berapa di antara kita yang sempat bertanya : “Setelah dibuang, kemana perginya sampah-sampah plastik itu?”. Entahlah, yang jelas pada bulan November 2016, terjadi kemampatan di sungai dan gorong-gorong kota Bandung oleh karena sampah plastik dan styrofoam.[2] Pantas saja, riset yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 18 kota di Indonesia menemukan 0,27 juta ton hingga 0,59 juta ton sampah bermuara di laut Indonesia dalam kurun waktu 2018, dan kebanyakan adalah sampah styrofoam.[3] Tak hanya dampak domestik, konsumsi berlebih atas material plastik, pegelolaan yang buruk atas limbah plastik, dan keengganan sektor industri untuk mencari solusi atas limbah plastik di Indonesia, pada akhirnya melahirkan dampak global. Belum lama, 4 sungai di Indonesia masuk dalam kategori “Top 20” penyumbang limbah plastik di lautan yang menyebabkan polusi di seluruh dunia, diantaranya sungai Brantas, Bengawan Solo, Serayu, dan Kali Progo.[4] Hal ini akhirnya membawa Indonesia menempati peringkat 2 dunia (setelah China) dalam hal jumlah polusi laut atas sampah plastik sebanyak 1,29 juta ton per tahun.[5]

Tak hanya itu, dalam gerakan 1000 Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan, Yayasan Madani (Madani Berkelanjutan) melansir bahwa Sampah plastik juga berpotensi mencemari tanah dan udara melalui pembakaran terbuka atau inerasi. Pembakaran plastik dan sampah pada akhir 2019 diperkirakan memancarkan karbon setara dengan 189 megawatt pembangkit listrik tenaga batu bara. Belum lagi ekses dari kegiatan industri yang melahirkan gas emisi, seperti sisa pembakaran kegiatan produksi, kendaraan bermotor pada proses distribusi, atau kendaraan pribadi yang berjubel di jalanan. Kesemua itu membawa Indonesia berada pada di ke-6 sebagai world most polluted country, berdasarkan data yang dihimpun lebih dari 60.000 titik oleh Iqair.com, situs yang menyajikan kualitas udara di berbagai belahan dunia secara live.[6] Demikianlah jika tolok ukur kemajuan industri-ekonomi suatu negara hanya ditala dengan neraca tunggal bernama Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, jika mau berpedoman pada Sustainable Development Goals (SDGs), tingkat “kemajuan” suatu negara tidak hanya ditentukan oleh kemajuan ekonomi semata, namun juga pemajuan industri yang mempertimbangkan perubahan iklim dan dampaknya, pemanfaatan secara berkelanjutan sumber daya alam, penekanan kerusakan alam, atau pendeknya pemajuan industri yang selaras dengan perlindungan lingkungan hidup. Yang terakhir ini, kerap terlupakan.

Sebuah Tawaran tentang “Ekonomi Martabak”^

Peningkatan PDB global yang juga diikuti oleh peningkatan pencemaran udara. Sumber : Dang, H.H., Fu, H., dan Serajuddin, U. (2020), Does GDP Growth Necessitate Environmental Degradation?. This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.  

Sejauh pertimbangan saya, selama kemajuan ekonomi-industri suatu negara hanya diukur dengan neraca tunggal PDB, maka segala macam pembangunan ekonomi akan tetap cenderung eksploitatif, baik kepada manusia maupun lingkungan hidup. Hal ini dapat dibuktikan melalui riset yang dilakukan oleh World Bank, yang menunjukkan bahwa grafik pencemaran lingkungan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya grafik pertumbuhan PDB di banyak negara.[7] Riset tersebut mengatakan bahwa terjadi peningkatan PDB global dalam rentang tahun 1990 – 2016, namun juga diikuti juga kenaikan dengan polusi udara secara signifikan. Dalam hal ini saya melihat tawaran yang menarik tentang “Ekonomi Martabak” yang dapat disimak dalam video berikut.

Seturut Andhyta F. Utami, atau yang akrab dipanggil Afu, Co-Founder Think Policy Society, dalam gerakan 1000 Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan; Ekonomi Martabak adalah ekonomi yang tidak hanya hanya menjadikan PDB sebagai tolok ukur tunggal indikator kemajuan ekonomi tradisional, namun juga mengintegrasikannya dengan indikator lain, yakni indikator sosial dan lingkungan. Ekonomi Martabak berupaya menyeimbangkan indikator PDB, indikator sosial, dan indikator lingkungan, sehingga memiliki nilai yang seimbang dan adil. Jika memang peningkatan nilai pada indikator PDB menyebabkan penurunan nilai pada indikator lingkungan, maka dilakukan moderasi dengan pengurangan nilai indikator PDB, lalu menambah nilai indikator lingkungan, hingga tercapai suatu keseimbangan.

Gagasan mengenai "Ekonomi Martabak" sebenarnya merupakan adopsi dari konsep "Doughnut Economics" yang diusung oleh ekonom Inggris Kate Raworth dalam bukunya Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist. Konsep tersebut dinamakan "Doughnut Economics" karena memang menghasilkan diagram yang berbentuk donat yang menggabungkan konsep batas planet (lingkungan/alam semesta) dengan konsep batas sosial (concept of social boundaries) dalam hubungan yang saling melengkapi. Bentuk diagram berupa cakram dengan lubang di tengahnya, di mana lubang tersebut adalah gambaran masyarakat yang tidak memiliki akses ke hal-hal penting dalam kehidupan seperti kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Sedangkan bagian "roti" yang terisi merupakan representasi dari batas ekologi, dimana kehidupan berlangsung dan bergantung, serta tak boleh dilampaui. Artinya, kinerja ekonomi dilangsungkan sejauh kebutuhan manusia terpenuhi tanpa melampaui batas ekologi, di mana dalam diagram tersebut, area di antara dua cincin merupakan area yang aman dan adil bagi umat manusia.[8]

"Ekonomi donat", kerangka visual untuk pembangunan berkelanjutan. Sumber : Wikimedia Common 

Konsep Doughnut Economics, agar lebih “bercita rasa lokal”, kemudian diadopsi oleh Andhyta F. Utami ke dalam istilah “Ekonomi Martabak”. Dalam alegori tersebut, martabak (di tempat tinggal saya di Jawa Timur, lebih akrab disebut “terang bulan”, untuk membedakannya dengan martabak daging khas Bangka) terdiri dari lapisan bawah dan atas; di situlah seharusnya ekonomi dikembangkan dan dilakukan secara adil, distributif, dan berbasis potensi lokal secara optimal. Afu pada akhirnya juga menyarakankan konsep ekonomi ini di samping dikembangkan potensinya lebih jauh dalam ranah akademik, juga mulai diimplementasikan ke dalam kebijakan publik. Hal ini berangkat dari pertimbangan mengenai kebijakan lingkungan yang kerap digiatkan pada tataran masyarakat, namun pada ranah makro masih menggunakan PDB sebagai neraca tunggal. Dalam praktiknya, pemerintah tetap mendorong produktivitas korporasi untuk meningkatkan PDB dengan ataupun tanpa pertimbangan lingkungan hidup. Hal ini menurut saya, sama artinya seperti yang diugkapkan oleh Madani Berkelanjutan dalam gerakan 1000 Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan, yakni “Kamu jagonya di bidang seni atau olahraga, tapi tetap harus ikut Ujian Nasional kalau mau lulus”. Saya juga pernah mengalami hal sepert ini, tentu saja menyebalkan.

Berani Memulai dengan “Urban Community Green Jobs”^

Seperti yang dikatakan oleh Andhyta F. Utami, bahwa Ekonomi Martabak agar dapat lebih berkembang secara “radikal” perlu menjadi bidang kajian dalam ranah akademik. Di sisi lain perlu perjuangan secara politik untuk diimplementasikan ke dalam ranah kebijakan publik. Tentu saja tidak semua orang memiliki akses ke dalam dua ranah tersebut. Lalu apa yang dapat dilakukan setiap orang untuk mulai mengimplementasikan “Ekonomi Martabak” sebagai sistem ekonomi yang adil, distributif, dan berbasis potensi lokal secara optimal?.

Beberapa waktu lalu, saya beserta beberapa rekan kerja memproduksi sebuah film dokumenter. Film berjudul “Kampung Terapi” tersebut, tidak hanya mendokumentasikan profil dan kegiatan warga RW 03 Kelurahan Sukun, Kecamatan Sukun, Kota Malang - Jawa Timur, namun juga menyuguhkan kisah inspiratif dari narasi kecil beberapa warga yang berjuang dan menjadi inisiator gerakan “Ekonomi Martabak” di wilayah yang juga dikenal sebagai “Kampung Baru” itu. Belakangan, Kampung Baru juga dikenal sebagai “Kampung Terapi” karena kreativitas warganya yang secara swadaya membuat jalan batu di sepanjang lorong-lorong kampung. Semenjak Menteri Lingkungan Hidup Prof. Balthasar Kambuaya berkunjung ke sana di tahun 2012, dan menetapkannya sebagai wilayah Proklim (Program Kampung Iklim), Kampung Baru dikenal sebagai kampung berprestasi bahkan di tingkat nasional. Bahkan, sang Ketua RW telah melanglang buana ke berbagai pelosok negeri, menjadi dewan juri dalam ragam kompetisi kampung peduli lingkungan hidup. Film dokumenter tersebut dapat dilihat pada video di bawah ini.

Kampung Baru dikenal dengan pemberdayaan masyarakatnya. Kampung dengan tujuan meningkatkan aspek kesehatan masyarakat dan pembiasaan hidup sehat secara swadaya ini, di samping senantiasa menjaga kebersihan lingkungan, juga konsisten memilah sampah basah dan kering. Kegiatan yang paling utama adalah memilah sampah, dengan luaran berupa kompos dan barang-barang kerajinan hasil daur ulang sampah kering. Keduanya, di samping dipergunakan kembali oleh warga, juga dikomersialisasi guna kesejahteraan masyarakat. Mulai dari kegiatan pemilahan, proses daur ulang, pembuatan, hingga penjualan barang kerajinan, seluruhnya dilakukan oleh warga secara voluntaristik di bawah koordinasi Kader Lingkungan. Berangkat dari inspirasi dari Kampung Baru, lalu aktivitas ekonomi apa saja yang mungkin bisa dilakukan dan dikembangkan secara adil, distributif, dan berbasis potensi lokal dari masyarakat kampung? Aktivitas ekonomi berikut ini mungkin dapat menjadi beberapa dari 1000 Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan yang berbasis pada urban community.

1) Pengolahan Pupuk Kompos

Kampung Baru Kota Malang terdiri dari 8 RT (Rukun Tetangga), di mana terdapat 40 keluarga di setiap RT-nya, sehingga kurang lebih terdapat 320 keluarga (KK) yang kesemuanya menghasilkan sampah basah sisa pengolahan makanan. Warga Kampung Baru telah terbiasa memilah sampah basah dan kering, di setiap rumah terdapat keranjang komposter dan juga keranjang sampah kering. Setiap bulan sekali komposter di setiap rumah dipanen untuk dapat dipergunakan sendiri ataupun dijual. Kompos hasil sampah basah kemudian disetorkan ke fasilitas pengolahan dan pengemasan kompos milik RW dengan dikoordinir oleh Kader Lingkungan. Menurut keterangan, jumlah rata-rata pernah mencapai 400 kg/bulan, dan dikemas dalam ukuran 2,5 kg. Hasil dari penjualan kompos ini dikembalikan ke warga dalam beragam bentuk; seperti jaminan kesehatan, bantuan langsung, atau pembuatan dan perbaikan fasilitas umum. Ini belum kompos yang didapat dari dalam biopori. Jika tiap kemasan kompos dihargai Rp.5000 saja, maka akan ada 40 keluarga yang akan memperoleh akses kesehatan dengan layak.

Kompos yang sudah dikumpulkan dari komposter seluruh warga Kampung Baru Malang. Sumber : Dokumentasi pribadi. This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.  

Kompos yang sudah siap dikemas oleh warga Kampung Baru Malang. Sumber : Dokumentasi pribadi. This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

2) Kerajinan Daur Ulang

Kerajinan daur ulang merupakan kelanjutan dari aktivitas pemilahan sampah di setiap keluarga. Ketika sampah basah diolah menjadi kompos, maka sampah kering diolah menjadi kerajinan. Ketimbang waktu luang dihabiskan untuk bergunjing, atau sekadar nongkrong di poskamling semalam suntuk, maka akan lebih baik jika membuat karya yang bernilai dan punya dampak sosial. Sampah kering dapat dipilah kembali untuk menghasilkan luaran yang spesifik. Semisal; botol air mineral ukuran 1 liter dapat menjadi material kerajinan kursi (sofa kecil), koran bekas yang dipilin dapat diolah menjadi keranjang, kotak “lamaran”, tas, bahkan boks besar untuk menyimpan pakaian. Atau kemasan makanan ringan dan sachet kemasan minuman instan dapat diolah menjadi tas belanja/totebag, dompet, tas jinjing, tikar, dan bahkan taplak meja.

Proses pemilahan sampah kering di Kampung Baru Kota Malang. Sumber : Dokumentasi pribadi. This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License

Hasil kerajinan daur ulang sampah kering Kampung Baru Malang. Sumber : Dokumentasi pribadi. This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License

Tentu saja, warga kampung yang pertama harus menggunakan produk-produk ini dalam berbagai kesempatan. Di samping memang digunakan secara domestik, hal ini juga merupakan “soft selling” dalam rangka menjangkau pasar yang lebih luas. Produk kerajinan daur ulang ini dapat dijual dalam beragam kesempatan, semisal festival UMKM yang kerap diselenggarakan pemerintah daerah, beragam festival-bazzar jaringan kampung, atau festival kecil skala kampung yang lazimnya diadakan untuk memperingati hari-hari tertentu (hari Kartini, hari Kemerdekaan, dsb,), atau lebih praktis menjadi supplier sentra penjualan barang kerajinan.

3) Tanaman Hias, Toga dan Hidroponik

Di Kampung Baru Kota Malang, di samping setiap keluarga memiliki komposter, sebagian besar juga menanam tanaman hias. Media tanam di diperoleh dengan jalan mencampur hasil pengerukan pendangkalan sungai atau saluran pembuangan (diperoleh dari aktivitas kerja bakti), kompos sampah basah, tanah, dan juga sekam. Kecuali sekam, kesemuanya dapat diperoleh dari dalam kampung sendiri. Tanaman ini kemudian menghiasi rumah-rumah dan lingkungan yang bersih. Warga juga menempatkannya dalam pot-pot atau polybag kecil, sehingga ketika terdapat kunjungan dari kampung lain, atau orang yang sekadar melepas penat, tanaman hias ini dapat dijual dan menjadi sumber pemasukan. Kampung Baru juga memiliki fasilitas bersama untuk sarana budidaya dan pembibitan tanaman hias, yang hasilnya di samping dijual kepada pengunjung, juga menjadi supplier toko-toko tanaman hias di pasar bunga.

Lingkungan Kampung Baru Kota Malang, penuh dengan tanaman hias. Sumber : Dokumentasi Pribadi. This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

Produk hidroponik yang memiliki pasar potensial, dan dapat menjadi solusi ketahanan kampung. Foto oleh Choo Yut Shing. This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.  

Memang tidak setiap warga di Kampung Baru menanam Toga (Tanaman Obat Keluarga), hanya anda fasilitas bersama lahan penanaman Toga tak jauh dari balai RW. Namun jika memang Toga memang digiatkan untuk ditanam di setiap rumah, kemudiah hasilnya dikumpulkan untuk diolah menjadi beragam minuman jamu, tentu saja menjadi produk kampung yang juga memberikan penghasilan. Demikian pula dengan tanaman hidroponik. ketika hidup sehat dan “living green” menjadi gaya hidup masyarakat urban, banyak orang mendambakan konsumsi produk hidroponik, ini memiliki pasar yang potensial. Budidaya produk hidroponik ini dapat dikelola oleh tiap keluarga, yang dikumpulkan untuk dijual ataupun dikonsumsi sendiri.

4) Jasa Pelatihan Urban Farming dan Pengelolaan Sampah

Ketika warga kampung telah terbiasa dalam pengelolaan limbah rumah tangga, mampu membuat kompos, terbiasa menanam dalam lahan sempit, artinya warga atau setidaknya Kader lingkungan telah memiliki pengetahuan dan keahlian yang cukup dalam urban farming dan pengelolaan limbah. Pengetahuan dan keahlian ini belum tentu dimiliki oleh sembarang orang. Dengan sedikit mempelajari teknik pembelajaran, pengetahuan dan keahlian tersebut dapat ditransformasi menjadi pembelajaran/pelatihan non-formal berupa kursus singkat bertajuk – semisal - “Urban farming & zero waste family”. Dalam kegiatan yang lebih terencana, meminta pendampingan Perguruan Tinggi dalam program pengabdian kepada masyarakat untuk menyusun “kurikulum”, modul, ragam media pembelajaran juga akan semakin menambah kredibilitas para trainer. Ketika “living green” dan gaya hidup minimalis telah menjadi tren masyarakat urban, terutama kalangan menengah-atas, pembelajaran non-formal semacam ini bukan tanpa potensi pasar, dan dapat menjadi sumber penghasilan baik bagi personal maupun komunitas (kampung).

Pelatihan urban farming/gardening bagi masyarakat urban, kini menemukan potensi ekonominya. Photo by Stefan C. Asafti on Unsplash. This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.


5) Produksi Komposter & Living Green “Starter Kit”

Yang terakhir ini dapat dipandang sebagai “potensi ikutan” dari Pelatihan Urban Farming dan Pengelolaan Sampah. Tentu saja dalam pelatihan tersebut, semasal juga terdapat modul membuat beragam komposter. Namun masyarakat urban kelas menengah – pekerja terkadang kurang memiliki cukup waktu untuk membuat sendiri peralatan pendukung. Oleh karena itu lembaga pelatihan juga baiknya juga menyediakan komposter jadi beserta perlengkapan untuk "memulai" gaya hidup Living Green. Perlengkapan tersebut bisa berupa beberapa buah pot beserta media tanam, pupuk organik, bibit tanaman, cetok, serta watering can misalnya, kesemuanya ada dalam satu paket. Komposter diproduksi dalam beragam ukuran yang disesuaikan dengan ketersediaan lahan masyarakat urban. Beberapa hal ini akan sangat berguna bagi masyarakat kelas menengah urban yang tinggal di apartment namun mendambakan gaya hidup Living Green dan minimalis.

Tong Komposter di Kampung Baru Kota Malang. Sumber : Dokumentasi pribadi. This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License

Contoh Living Green "Starter kit", yang juga memiliki pasar potensial masyarakat urban. Foto oleh Jill Wellington. This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License

Siapa? Demi Apa?^

Demikianlah menurut saya beberapa aktivitas ekonomi yang dapat menjadi beberapa dari 1000 Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan yang berbasis pada urban community. Beberapa aktivitas ekonomi ini, oleh karena berbasis pada masyarakat kampung dan dikelola bersama/komunal dapatlah disebut pula sebagai urban community green jobs. Green jobs, seturut International Labour Organization (ILO) adalah adalah pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan yang menjadi bagian dari perekonomian dan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan mampu melestarikan lingkungan untuk generasi sekarang dan masa mendatang secara lebih layak dan inklusif bagi semua orang di semua negara.

Beberapa aktivitas ekonomi tersebut, dalam kacamata saya, dapat dilakukan oleh siapapun, komunitas manapun, kampung manapun, profesi apapun, tingkat ekonomi apapun, dan dimanapun tempat tinggalnya. Namun dalam hal ini, yang paling penting adalah perwujudan atau implementasi dari Ekonomi Martabak yang dilakukan secara adil, distributif, dan berbasis potensi lokal secara optimal, sehingga komunitas (kampung) dapat lebih “berdaya” secara ekonomi. Hal ini merupakan salah satu upaya dalam Mendorong Ekonomi Hijau Berkelanjutan melalui Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berbasis Lingkungan. Tentu saja, demi kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan hidup.

Tentu saja, kita bisa!.

Tentu saja, kita berupaya!

Creative Commons License

1000 Gagasan, Pembangunan Ekonomi, Lingkungan Hidup, Urban Community, Kampung, Kampung Terapi, Green Jobs, Merusak Lingkungan, Merusak Alam, Gagasan Ekonomi, Masyarakat Urban, Living Green, Tong Komposter, Pengolahan Kompos, Sampah Basah, Sampah Kering, Green Peace, Proklim, Perubahan Iklim, Wilayah Proklim, Pencemaran Lingkungan, Pencemaran Udara 
Catatan Kaki
[1] Juniman, P.T., (2018), BPOM: Styrofoam Aman Digunakan, asal Tak Berlebihan, dalam CNN Indonesia, Kamis 18 Januari 2018, Linkdiakses pada 16 Maret 2021
[2] Ibid.
[3] Lukihardianti, A. (Rep.) dan Rezkisari, I. (Red.), (2019), Dominasi Sampah Stirofoam di Laut Indonesia, dalam Republika.co.id, 12 Desember 2019. Link, diakses pada 16 Maret 2021
[4] Hannah Ritchie (2018), Plastic Pollution, Published online at OurWorldInData.org. Linkdiakses pada 16 Maret 2021
[5] Adharsyah, T. (21 Juli 2019), Sebegini Parah Ternyata Masalah Sampah Plastik di Indonesia, dalam CNBC Indonesia, Link, diakses pada 16 Maret 2021
[6] Iqair.com, Link diakses pada 16 Maret 2021
[7] Dang, H.H., Fu, H., dan Serajuddin, U. (2020), Does GDP Growth Necessitate Environmental Degradation?, dalam World Bank Blogs, blogs.worldbank.org, 14 Januari 2020, Link , diakses pada 16 Maret 2021
[8] Raworth, K. (2012), A Safe and Just Space for Humanity : Can We Live Within The Doughnut?, dalam A Safe and Just Space for Humanity Oxfam Discussion Paper. Link, diakses pada tanggal 16 Maret 2021

Posting Komentar

18 Komentar

  1. Di Surabaya sudah mulai ada sih kerajinan daur ulang. Bahkan ada armada bus kota yang meminta bayaranya dengan botol bekas. Nggak pakai duit. Lalu botol bekas itu nantiny akan didaur ulang kembali menjadi barang-barang yang menarik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak, adikku kerja di Sby, setiap berangkat dari rumah dia mesti bawa botol-botol bekas..ternyata untuk itu. Hahaha...ya memang harus ada yang memulai dan sistematis gitu sih ya...

      Hapus
  2. Keren banget informasinya 👍

    BalasHapus
  3. Keren idenya. Emang ditangan orang kreatif, sampah bisa jadi emas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul, mungkin di kota anda entah satu atau beberapa, ada saja kampung/desa yang kreatif seperti ini.

      Hapus
  4. Sangat bagus tulisan tentang isu lingkungan.

    BalasHapus
  5. Memang kita harus punya ide untuk sampah yg bisa di daur ulang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya gan..meski g jadi produk baru, paling tidak bisa difungsikan untuk yg lain..

      Hapus
  6. Pemerintah harus dukung nih kerajinan daur ulang biar ngurang ngurang sampah juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya bang rudi, tp ya gitu deh kdg pemerintah cm kalo pas ada festival produk kerajinan daerah aja..hbs it sepi lg, hahaha. Ato pas musim kampanye..bnyak calon mendadak peduli lingkungan 😆

      Hapus
  7. Inovasi baru memang sangat dibutuhkan dalam hal ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener gan, stidaknya dari rumah dlu, apa yg ns dilakukan. Thx kunjungannya gan..

      Hapus