Header Ads Widget

Header Ads

Cyber Peace di Era Post Pandemic

Artikel ini merupakan esai opini yang memuat gagasan mengenai cyber peace. Memang belum ada konsensus mengenai definisi atau makna cyber peace, namun pandangan umum melihat cyber peace sebagai suatu keadaan yang tenang, tidak adanya kekacauan, ganggauan, atau kekerasan di dunia maya. Melihat bagaimana masyarakat dapat dengan mudahnya dalam rantai HOAX, konten manipulasi dan fake news, mungkinkah keadaan cyber peace ini tercapai di masa yang akan datang?. Sungguhpun HOAX merupakan problem kita bersama, yang menunjukkan betapa di era Industri 4.0 ini ternyata kita masih memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai 

Daftar Isi


Suatu Hari di Whatsapp Group^

Tak satu hurufpun ia ketuk dengan jemarinya – meski beberapa orang dalam WhatsApp Group (WAG) itu telah me-reply pesan yang baru saja ia kirim. Pria paruh baya itu (saya tahu dari foto profilnya) tetap bergeming. Jadi, beberapa saat lalu ia meneruskan pesan berantai mengenai pengobatan COVID 19 yang “seolah-olah” berasal dari seorang dokter senior Indonesia cum mantan Menteri Kesehatan RI. Pesan berantai itu tampak meyakinkan karena disertai tautan dengan thumbnail foto close up sang mantan menteri. Ternyata, tautan tersebut mengarah ke status akun Facebook personal yang entah siapa, dan tak bersangkut paut dengan sang mantan menteri.

Fitur "Share" dalam Instant Messeger memungkinkan fake news mengalami magnifikasi.  Photo by Jayana Rashintha on Unsplash. This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

Tak butuh waktu lama untuk menemukan bahwa ternyata pesan berantai itu bukan tulisan sang mantan menteri, dan dalam kategori disinformasi – konten manipulasi.[1] Beberapa anggota WAG “mengguggat”, namun sang penerus masih sebagaimana foto profilnya; bergeming – sambil nyengir. Padahal, biasanya ia rajin memposting dan mengaminkan doa-doa dengan menggunakan stiker WA. Entah bagaimana hal yang bukan sekali dua kali ini dilakukan oleh orang yang mendaku diri sebagai pegiat literasi dan penerbitan, dan ironisnya dilakukan di dalam sebuah WAG organisasi yang menjadi mata tombak literasi Indonesia. 

Hingga saat vaksin siap diinjeksikan, di beberapa WAG saya masih ada saja yang meneruskan pesan berantai semisal; orang yang divaksin adalah kelinci percobaan, vaksin mengandung formalin, bahkan alat pembantaian massal. Di setiap WAG rasa-rasanya selalu saja ada beberapa orang yang “gemar” meneruskan pesan berantai semacam itu. Di era Industri 4.0 ini ternyata kita masih memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai. Tekanan percepatan sejarah agaknya membuat kita terpaksa melompati tahap ‘literasi lama’. Pria paruh baya di atas sekadar contoh; bagimana teknologi berada dalam genggaman orang yang “hanya” bisa mengakses informasi, namun tak cakap mengelola, mengintegrasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi.

Dua Sisi Teknologi - Dua Sisi Pandemi^

Sejauh amatan, dan mudah-mudahan tak keliru; pandemi COVID 19 menjadi semacam “ketapel” yang melontarkan kita dari “episode wacana” menuju “episode praksis” dalam skenario Industri 4.0. Ternyata, di samping men-“deselerasi”, pandemi ini juga mengakselerasi banyak aspek (Mengenai hal ini, dapat dibaca tulisan saya : Akselerator atau Deselerator?: Refleksi atas Krisis yang Akseleratif dan Kompetitif). Di waktu yang sudah mungkin kita masih bisa “selamat” hanya dengan berwacana seolah-olah siap dengan platform digital, namun kini mau tidak mau - siap tidak siap kita harus berdamai dan mengakrabi ragam teknologi. Sayangnya, sebagian dari kita mengalami semacam “technological shock” dalam adaptasi tersebut, yang bahkan telah terjadi sebelum masa pandemi. Sekitar dua-tiga dekade lalu, meski framming media adalah keniscayaan – agaknya – kita terlanjur terbiasa dengan informasi pada medium analog yang relatif teregulasi. Di era Industri 4.0, realitas digital dan internet berikut budaya bebasnya, memungkinkan setiap orang memproduksi informasi, sekalipun informasi palsu. Hal ini sebagaimana konten manipulasi mengenai obat COVID 19 di atas, yang entah ditulis oleh siapa lalu mendadak jadi “pedoman” oleh karena diteruskan berkali-kali tanpa verifikasi.

Mungkin ini juga tak lepas dari watak teknologi itu sendiri. Filsuf Heidegger menyebut teknologi sebagai ‘Ge-stell’ atau ‘Enframing’ yang memiliki kecenderungan reduktif dan eksploitatif terhadap dunia.[2] Teknologi mereduksi, menghilangkan sebagian aspek dari realitas, bahkan menyimpangkannya, sehingga tampaklah kebenaran parsial – namun termagnifikasi. Realitas yang telah tereduksi dan termagnifikasi ini disebut pula sebagai “realitas instrumental” yang kerap tampak “lebih nyata” dari kenyataan. Oleh karena memiliki spektrum reduksi dan magnifikasi, teknologi menjadi “tidak netral” - seperti yang diungkapkan Don Ihde mengenai teknologi yang memiliki kecenderungan arah yang tidak disadari, atau “latent telic”; yang mengarahkan banyak aspek kehidupan manusia.

Fitur share dalam ragam perangkat instant messaging dan media sosial memungkinkan informasi yang tereduksi atau bahkan disimpangkan menjadi lebih mudah dan cepat disebarluaskan. Lebih cepat – melampaui kecepatan verifikasi, dan semakin termagnifikasi ketika diteruskan berkali-kali. Pada akhirnya kita akan cenderung membagikan informasi yang bagi kita menarik untuk dibagikan, bukan berdasarkan kebermaknaan informasi. Hal ini telah menjadi bagian dari keseharian, dan dalam banyak hal kita melakukan dengan cara yang sama. Technological shock – bagi saya ialah absennya kesadaran akan spektrum reduksi dan magnifikasi ketika menggunakan teknologi, sebagaimana lelaki paruh baya di atas.

No Peace Without Cyber Peace^

Dalam riset mengenai dampak HOAX di media sosial terhadap konflik dan sikap remaja, menunjukkan bahwa – dalam skala mikro, memviralkan HOAX di media sosial telah memicu konflik antarindividu, dan berpengaruh pada sikap remaja.[3] Tak kurang contoh, bagaimana HOAX – fake news ataupun konten manipulasi ini berujung pada konflik horizontal. Seorang pria melakukan penembakan di sebuah restoran pizza di Washington DC pada tahun 2016, saat Amerika sedang melangsungkan pemilihan presiden. Tindakan pria itu digerakkan oleh konten manipulasi yang diteruskan berulang-ulang, yang mengatakan bahwa restoran pizza tersebut berisi jejaring pedofilia yang dimotori Hillary Clinton beserta tim kampanyenya.[4] Konten manipulasi ataupun fake news merupakan artikel yang dirancang untuk memanipulasi persepsi orang terhadap realitas tertentu, dan digunakan untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebuah cara untuk mengobarkan konflik horizontal.

Comet Ping Pong Pizza, sebuah restoran tempat terjadinya penembakan. Peristiwa ini dikenal sebagai "Pizzagates". Sumber : Wikimedia Commons. 
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.


Di Indonesia, mungkin tak perlu saya katakan lagi. Di masa yang sudah, kita sama-sama menyaksikan bagaimana konten manipulasi berhasil membuahkan friksi politik-agama. Demikian pula lusinan HOAX yang beredar di masa pandemi, berhulu pada tujuan politik. Dalam sejarah peradaban, kita juga menyaksikan bagaimana perang-perang besar dan konflik bersenjata dipicu oleh keputusan-keputusan dan konflik-konflik politik. Boleh jadi militer dengan segenap persenjataan berlaga di medan perang, namun deklarasi perang, atau keputusan agresi tetap berada di tangan politisi. Di era Industri 4.0, pengaruh politik kerap didapatkan melalui “cyber war” dengan menggunakan konten manipulasi, fake news, false context, dan ragam misinformasi dan disinformasi yang lain. Dari sini tak berlebihan jika mengatakan bahwa; “No peace without cyber peace”.

Gig economy, e-commerce, atau online medical service, disinyalir menjadi tren post pandemic. Tren tersebut tentu tidak lepas dari apa yang dilakukan dan juga sikap orang terhadap teknologi di masa pandemi. Demikian pula situasi cyberpeace di masa post pandemic, oleh karena teknologi yang “latent telic” dan menentukan banyak aspek kehidupan manusia – sangat ditentukan dari kesadaran kita akan spektrum reduksi dan magnifikasi teknologi, cara kita mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dalam membangun pengetahuan di masa pandemi.

Demikianlah – saya percaya – kedamaian adalah sesuatu yang masih sama-sama kita inginkan di masa post pandemic.

[1] Jala Hoaks Jakarta, (2021), [Hoaks] - Tulisan Dr. Siti Fadillah Tentang Tata Cara Pengobatan Covid-19 dengan Isolasi Mandiri di Rumah, 18 Januari 2021. Link
[2] Francis Lim,(2008). Filsafat Teknologi: Don Ihde, Tentang Dunia, Manusia,dan Alat. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm.49
[3] Lokananta,A.C.,(2018), Dampak Informasi HOAX di Media Sosial terhadap Tingkat Konflik dan Sikap pada Remaja, dalam Jurnal Promedia,(04)2, hlm.100-103.
[4] CITS, (2018), The Danger of Fake News in Inflaming or Suppressing Social Conflict, Link.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Keren banget blog nya mass...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Blog mas juga bagus...punya saya masih begini-begini saja dari dlu, hahahaha..

      Sukses broo..

      Hapus