Header Ads Widget

Header Ads

Menimbang "Eco Graphic Designer" sebagai Green Jobs - untuk Indonesia yang Lebih Bersih

Artikel ini mencoba menggali kemungkinan profesi Desainer Grafis menjadi salah satu Green Jobs. Green Jobs adalah pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan yang menjadi bagian dari perekonomian dan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan mampu melestarikan lingkungan untuk generasi sekarang dan masa mendatang secara lebih layak dan inklusif bagi semua orang di semua negara. Berbagai permasalahan lingkungan hidup banyak disebabkan oleh pemajuan industri, dan desain grafis sedikit banyak juga telah memberikan kontribusi dalam polusi dan kerusakan lingkungan. Mungkinkah profesi Desain Grafis (Graphic Designer) bertransformasi menjadi Eco Graphic Designer sebagai Green Jobs, yang mempertimbangkan sustainable design dalam proses kreatifnya? Demi Indonesia yang lebih bersih, mari kita simak uraian berikut.

Daftar Isi


Menakar Pemajuan Industri dan Problem Lingkungan Hidup^

Semenjak Amerika Serikat mendepak Indonesia dari kategori negara berkembang melalui Office of the US Trade Representative (USTR) di World Trade Organization (WTO) – praktis, kini Indonesia menyandang gelar “negara maju”.[1] Predikat ini mau tak mau memaksa Indonesia mengejar “kelayakan”, dengan melakukan percepatan-percepatan di sektor industri, terutama pada tataran korporat. Bahkan tanpa gelar “negara maju” yang diberikan AS itu sekalipun, Indonesia melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebetulnya memang sudah memiliki target menjadi negara maju di tahun 2045.[2] Tak hanya dari pemerintah, upaya dan harapan Indonesia menjadi negara maju di 2045 juga diekspresikan oleh generasi muda melalui Indonesian Diaspora Youth (IDY) dalam sebuah dokumen berjudul “Visi Indonesia 2045”.[3]

Baik Bappenas maupun IDY sama-sama mendorong pemajuan industri untuk mengejar target tersebut, baik pada level korporasi maupun UMKM. Padahal jika mau berpedoman pada Sustainable Development Goals (SDGs), tingkat “kemajuan” suatu negara tidak hanya ditentukan oleh kemajuan ekonomi semata, namun juga pemajuan industri yang mempertimbangkan perubahan iklim beserta dampaknya, pemanfaatan secara berkelanjutan sumber daya alam, penekanan kerusakan alam, atau pendeknya pemajuan industri yang selaras dengan perlindungan lingkungan hidup. Yang terakhir ini, kerap terlupakan.

Polusi plastik, kontribusi desainer grafis? (Sumber:Photo by Nick Fewings on Unsplash) - Lisensi : Creative Commons Attribution 4.0 International License

Berdasarkan data yang dihimpun lebih dari 60.000 titik, Iqair.com, situs yang menyajikan kualitas udara di berbagai belahan dunia secara live; Indonesia terletak pada urutan ke-6 sebagai "world most polluted country".[4] Bahkan 4 sungai di Indonesia masuk dalam kategori “Top 20” penyumbang limbah plastik di lautan yang menyebabkan polusi di seluruh dunia, diantaranya sungai Brantas, Bengawan Solo, Serayu, dan Kali Progo.[5] Hal ini akhirnya membawa Indonesia menempati peringkat 2 dunia (setelah China) dalam hal jumlah polusi laut atas sampah plastik sebanyak 1,29 juta ton per tahun.[6] Dari manakah polutan tersebut berasal? Tentu saja ekses dari kegiatan industri – ekonomi, semisal penggunaan kendaraan bermotor dalam distribusi barang dan jasa, mesin-mesin produksi, limbah material, dan terutama hasil akhir produk minuman bermaterial plastik sekali pakai yang kerap ditemui di gerai ritel. Pertanyaannya, apakah pemajuan industri “mensyaratkan” degradasi lingkungan hidup? Ternyata, riset yang dilakukan oleh World Bank menunjukkan bahwa grafik pencemaran lingkungan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya grafik pertumbuhan PDB di banyak negara.[7]

Berbicara mengenai limbah plastik sebagai hasil akhir dari produk makanan dan minuman, tentu sangat berkaitan dengan proses industri suatu produk. Dalam hal ini, termasuk di dalamnya proses kreatif. Riset pasar, konsep pemasaran, penentuan citra merek, identitas merek, desain bentuk kemasan, penentuan struktur, visualisasi label, hingga pemilihan material kemasan, kesemuanya merupakan proses kreatif yang integral dengan proses industri suatu produk. Di sinilah, dalam hubungan antara pemajuan industri dan keberlanjutan lingkungan hidup, hendaknya desainer grafis tidak lagi dilihat dari perspektif proses kreatif yang sempit.

Jejak karbon, tidak hanya dari distribusi, namun juga proses produksi. Photo by Chris LeBoutillier on Unsplash. Lisensi : Creative Commons Attribution 4.0 International License

Desainer grafis, dengan karyanya, sangat menentukan efisiensi distribusi produk, dan oleh karenanya – menentukan jumlah jejak karbon. Demikian pula mengenai material kemasan dan media pemasaran, keputusan desainer turut menentukan jumlah limbah non-biodegradable. Desainer grafis, sebagai bagian holistik dari proses industri, memiliki peran yang signifikan dalam proses produksi – bahkan mulai dari penggalian ide/gagasan hingga proses distribusi produk. Sehingga, jumlah limbah produk konsumsi dan jejak karbon (carbon footprint), juga sangat bergantung pada input yang diberikan oleh desainer grafis dalam proses industri.

“Green” Graphic Design as Sustainable Graphic Design^

Dalam pengertian yang lebih modern dan saintifik, desain merupakan gugusan pengetahuan dan keahlian dalam meneliti dan mengembangkan suatu produk inovatif dan kompetitif, dengan memanfaatkan pendekatan strategis tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang berorientasi masa depan, berdasarkan spesifikasi, rencana, parameter, dan biaya tertentu, dan dengan mempertimbangkan batasan hukum, sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidup di dalam prosesnya. Dari sini dapat dipahami bahwa kreativitas, inovasi, problem solving dan orientasi ke masa depan, kesemuanya menjadi bagian yang integral dari desain.

Brian Dougherty, co-founder Celery Design Collaborative, dalam bukunya Green Graphic Design menegaskan mengenai perubahan pendekatan yang harus dilakukan oleh desainer grafis dalam proses kreatif mereka – yang – melampaui ‘sekadar’ retorika klise kampanye kesadaran lingkungan hidup dalam poster tercetak, atau ‘sekadar’ ajakan memilih material kertas daur ulang. Lebih dari itu – ketika desain semakin memiliki peran sentral – maka desainer grafis memiliki tanggung jawab “tambahan” untuk menghasilkan karya yang lebih sustainable, baik dalam proses perancangan maupun hasil akhir.[8] Artinya, desainer grafis hendaknya mulai mempertimbangkan tiap langkah dalam proses perancangan, dan juga akhir dari sebuah desain; di bak sampah, tempat daur ulang, atau justru dapat dikelola menjadi kompos misalnya.

Desain sebagai 'agen perubahan'. Sumber : diolah dari Dougherty, 2008. Lisensi : Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International (CC BY-SA 4.0) 

Desainer grafis dapat memilih dan merencanakan “greenest case scenario” pada desain yang ia rancang. Demi pengambilan keputusan yang lebih ramah lingkungan, Dougherty menggagas sebuah konsep tentang “green graphic design” – yang sebagaimana “watak” desain itu sendiri yang kreatif, inovatif, dan menjadi problem solving – maka “green graphic design” adalah perubahan (change) proses kreatif, di mana desain pada mulanya sebagai “pemandu sorak” sebuah produk (dengan media promosi, iklan, branding, dsb.), kini menjadi agen perubahan dengan inovasi-inovasi dan solusi problem lingkungan hidup.

Di sinilah sustainable graphic design menjadi bermakna, sebagai desain grafis yang dalam proses kreatifnya mengeintegrasikan pendekatan ramah lingkungan dan mempertimbangkan sumber daya alam sebagai bagian dari desain. Untuk memastikan bahwa kita telah mengimplementasikan sustainable design, setidaknya ada beberapa pertanyaan yang harus kita jawab, semisal ; apakah kita sudah mereduksi sumber daya yang berkontribusi pada polusi dalam desain yang kita rancang?; apakah kita menggunakan material kertas dan tinta yang dapat didaur ulang dalam desain?, atau mungkin infografis dari Designorate di bawah ini dapat menjelaskan secara garis besar mengenai sustainable design.

Sustainable Design. Sumber : Designorate.com. Hak cipta ada pada Designorate.com. Lisensi : Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International (CC BY-SA 4.0)


"Eco Graphic Designer" sebagai Green Jobs : Apa yang Bisa Dilakukan?^

Beberapa dari kita mungkin sudah tak asing dengan istilah Green Jobs. Intenational Labour Organization (ILO) mendefinisikan Green Jobs sebagai pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan yang menjadi bagian dari perekonomian dan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan mampu melestarikan lingkungan untuk generasi sekarang dan masa mendatang secara lebih layak dan inklusif bagi semua orang di semua negara. Green Jobs memang ditujukan untuk mengurangi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh perusahaan dan sektor ekonomi hingga ke tingkat pelestarian lingkungan hidup.[9] Jutaan Green Jobs telah lahir di negara industri, namun di negara berkembang Green Jobs mulai mencakup - terutama di perusahaan jasa konstruksi, transportasi, industri dasar, daur ulang, pertanian dan kehutanan.

Green Jobs, sebagaimana yang dipaparkan Koaksi Indonesia. Sumber : Koaksi Indonesia. Hak Cipta ada pada Koaksi Indonesia

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Koaksi Indonesia, 2 cabang ilmu-profesi desain kini telah menjadi Green Jobs, yakni Eco Design Architect – yang mempraktikkan bangunan hijau dan material ramah lingkunan; dan Eco Fashionpreneur – yang tidak hanya fokus pada aspek material produk fashion namun juga dampak terhadap pemakai, daya tahan, serta kesejahteraan bagi para pekerja. Demikianlah Green Jobs yang di samping ramah lingkungan, ia juga harus “layak”.

Bagaimana dengan desain grafis? Tentu saja perubahan tidak semudah membalik telapak tangan, apalagi di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu karena pandemi Covid 19, material plastik menjadi pilihan yang paling “masuk akal” bagi beragam kebutuhan para pelaku usaha. Apalagi dalam design project kerap melibatkan stakeholder yang tidak sedikit, tentu situasi menjadi lebih kompleks ketika mulai melibatkan klien dan juga anggaran. Namun bukan berarti gagasan tentang Eco Graphic Designer menjadi utopia semata, kita dapat memulai beberapa hal di bawah ini – yang mungkin dapat menjadi stimulasi perubahan kecil atau langkah awal, baik oleh desainer grafis mandiri (freelancer), maupun studio kreatif.

1. Biodegradable First

Kemasan Biodegradable. Photo by EcoPanda on Unsplash. Lisensi : Creative Commons Attribution 4.0 International License 

Sebagai desainer grafis, hendaknya menyadari bahwa diri kita telah menjadi bagian dari problem lingkungan hidup. Untuk itu pastikan kita telah memberikan tawaran alternatif material desain yang lebih ramah lingkungan kepada klien sebelum semuanya dimulai. Hal ini juga termasuk memberikan tawaran alternatif cara mengonsumsi produk mereka, dengan cara yang lebih ramah lingkungan. Semisal kita memiliki klien makanan cepat saji lokal; tawarkan kepada mereka pilihan kemasan biodegradable kepada konsumen yang membeli secara take away dengan tambahan biaya, dan didukung oleh kampanye kesadaran lingkungan hidup pada gerai-gerai mereka. Hal ini, disamping ramah lingkungan, juga meningkatkan citra merek produk. Pemilihan material ini tentu juga dengan mempertimbangkan life cycle produk. Intinya, material yang digunakan dalam proyek desain harus dapat diperbarui, dapat didaur ulang, dan/atau dapat digunakan kembali.

2. Minimalisir Data dan Hemat Energi

Pertimbangkan besar data dan konsumsi energi. Photo by Alesia Kazantceva on Unsplash. Lisensi : Creative Commons Attribution 4.0 International License  

Beberapa bentuk data/file memiliki kapasitas yang cukup besar, terutama pada file-file video atau berkas-berkas berkaitan dengan studio project animasi. Artinya, akan ada waktu lama dan energi yang lebih besar ketika transfer data. Untuk itu efisiensi sangat diperlukan, baik dari kapasitas data (jika memungkinkan untuk direduksi), dalam proses pengolahan digital, distribusi data, dan juga perangkat keras terkait. Hal ini dapat dilakukan dengan menekan kegiatan transfer data dengan ukuran besar yang butuh waktu lama, merancang halaman website seringan mungkin, mengurangi video streaming yang tidak perlu, dan kegiatan lain yang banyak menyerap energi. Hal ini termasuk menggunakan perangkat keras hemat energi, seperti layar monitor, CPU, lampu pendukung dan lain sebagainya.

Solar cell bisa juga digunakan untuk memenuhi sebagian kebutuhan energi di studio. Ini dilakukan tidak semata-mata penghematan energi – namun karena energi tersebut didapatkan dari pembakaran batu bara, sehingga secara akumulatif, semakin besar kebutuhan energi, semakin banyak pula batu bara yang harus ditambang. Sebagaimana yang kita tahu, tambang baru bara menyebabkan banyak pencemaran dan kerusakan alam. Mengenai hal ini, mungkin rekan-rekan dapat menyimak film dokumenter yang merupakan rangkaian dari Ekspedisi Indonesia Biru, dengan judul “Sexy Killers” besutan Dhandy Laksono dan Watchdoc Image di sini.

3. Memastikan Mitra Bisnis Menerapkan Prinsip Kebijaksanaan Ekologis

Pastikan mitra bisnis mendapatkan informasi mengenai tanggung jawab lingkungan. Photo by Élise Morin on Unsplash. Lisensi :  Creative Commons Attribution 4.0 International License 

Sebagai desainer grafis, tentu kita tidak bisa lepas dari mitra bisnis – yang entah itu perusahaan konveksi, percetakan, biro iklan, digital printing industry, studio fotografi, home production, software house, dan lain sebagainya. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan; semisal mitra menggunakan tinta dan medium ramah lingkungan untuk kebutuhan digital printing, disamping memilki sistem pengolahan limbah yang baik; atau menggunakan cat sablon yang eco-friendly dan memiliki prosedur daur ulang limbah tekstil yang baik untuk perusahaan konveksi. Tentu saja kita tidak bisa menuntut orang untuk menjalankan bisnisnya sebagaimana visi yang kita miliki. Namun jika memang mereka belum memiliki visi ekologis dalam menjalankan bisnisnya, maka tidak rugi juga untuk mendiskusikannya dalam sebuah sesi kopi siang dengan obrolan santai.

4. Mempertimbangkan Aspek Distribusi dan Jejak Karbon

Meski tak kasat mata, pencemaran udara memiliki dampak yang nyata. Photo by Azka Rayhansyah on Unsplash. Lisensi : Creative Commons Attribution 4.0 International License   

Dengan mendesain bentuk sebuah produk dengan efisien, sehingga dapat didistribusikan secara efektif, sebetulnya juga berkontribusi dalam meminimalisir jejak karbon. Termasuk pula – dalam batas-batas tertentu – menggunakan kendaraan non-mesin dalam kegiatan operasional studio. Bagaimanapun juga, intensitas mobilitas dengan kendaraan bermotor menjadi penyumbang terbesar jejak karbon. Kita bisa gunakan beberapa teams/project management software seperti Slack untuk meminimalisir mobilitas yang kurang penting, atau sekadar mengirimkan file siap cetak melalui e-mail kepada rekanan, sehingga praktis mobilitas hanya diperlukan ketika mengambil hasil cetak.

Tentu saja keempat hal di atas hendaknya dilakukan ketika memang situasi memungkinkan. Desain sebagai proyek dengan multi-stakeholder sudah barang tentu memiliki budaya organisasi dan visi yang berbeda-beda. Meski demikian, perubahan-perubahan kecil yang berkaitan dengan keberlanjutan lingkungan hidup harus dilakukan mulai sekarang. Dengan begitu “Eco Graphic Designer” sebagai Green Jobs tidak hanya sakadar menjadi utopia ataupun wacana, namun perlahan menjadi niscaya dan semakin menemukan bentuknya.

Problem lingkungan hidup seharusnya mendorong desainer grafis untuk dapat mengidentifikasi kekurangan atau “lubang” dalam proses kreatif, sehingga – pada akhirnya – mampu menemukan metode desain baru. Desain yang pada dasarnya berwatak inovatif dengan perubahan-perubahannya, seharusnya tidak hanya mampu memecahkan problem komunikasi pemasaran – lebih dari itu – menjadi solusi atas permasalahan lingkungan hidup. Dan yang terpenting, menjadikan Indonesia lebih bersih dan benar-benar layak disebut sebagai “negara maju”.

Sebelum diunggah, telah dilakukan similiarity check terhadap artikel ini dengan menggunakan Plagius Plagiarism Checker, dalam 1705 kata, dengan hasil 2,78%, pada tanggal 15 Februari 2021. Hasil lengkap dapat dilihat di sini.

Green Jobs, Green Job, Sustainable, Sustainable Design, Desain Berkelanjutan, Eco Friendy, Biodegradable, Eco Graphic Designer, Graphic Designer, Desainer Grafis, Desain Grafis, Desain Komunikasi Visual, DKV, Visual Communication Design, Lingkungan Hidup, Pencemaran Lingkungan, Limbah, Polusi Udara, Sampah Plastik, Kemasan Daur Ulang, Tanggung Jawab Lingkungan, Indonesia Bersih, Indonesia Maju

[1] Idris, M, 22 Februari 2020, Indonesia Masuk Negara Maju atau Berkembang? Ini Penjelasan WTO, dalam Kompas.com, Link, diakses pada tanggal 10 Februari 2021.
[2] Putra,D.A. (Rep.), 4 Februari 2020, DPR Soroti Langkah Pemerintah Jadikan Indonesia Negara Maju di 2045, dalam Liputan6.com, Link, diakses pada tanggal 11 Februari 2021
[3] Dokumen “Visi Indonesia 2045” disusun oleh Indonesian Diaspora Youth, dalam perhelatan Conference of Indonesian Diaspora Youth 2018 (CIDY-2018), di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin 13 Agustus 2018. Acara tersebut dibuka oleh Dino Patti Jalal dengan semangat melanjutkan Sumpah Pemuda 1928. Lihat Hasan, R.A. (13 Agustus 2018), Dino Patti Djalal Buka Konferensi Pemuda Diaspora Indonesia 2018, dalam Liputan6.com, Link, diakses pada tanggal 11 Februari 2018
[4] Iqair.com, Link, diakses pada tanggal 11 Februari 2021
[5] Hannah Ritchie (2018) - "Plastic Pollution". Published online at OurWorldInData.org.
[6] Adharsyah, T. (21 Juli 2019), Sebegini Parah Ternyata Masalah Sampah Plastik di Indonesia, dalam CNBC Indonesia, Link, diakses pada 11 Februari 2021
[7] Dang, H.H., Fu, H., dan Serajuddin, U. (2020), Does GDP growth necessitate environmental degradation?, dalam World Bank Blogs, blogs.worldbank.org, Link 14 Januari 2020, Link, diakses pada tanggal 11 Februari 2020
[8] Dougherty, B, (2008), Green Graphic Design, Allworth Press, New York.
[9] Intenational Labour Organization, Lembar Fakta tentang Pekerjaan yang Layak dan Ramah Lingkungan (Green Jobs) di Indonesia, dalam www.ilo.org, Link, diakses pada tanggal 15 Februari 2021.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Keren banget sih kalau sampai setiap pekerjaan di dunia ini mau memerhatikan aspek lingkungan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar bund. Tapi ya gitu deh, butuh effort besar. Di satu sisi masih banyak di masyarakat kita yang masih kesulitan buat survive bahkan dengan jenis pekerjaannya yang sekarang. Boro-boro mikirin pekerjaan yang memperhatikan lingkungan. Tapi ya, kita lakukan apa yang paling mungkin untuk bisa dilakukan. Thanx komennya bund..sukses slalu..

      Hapus