Header Ads Widget

Header Ads

Bergerak ‘Melampaui’ Simbol

Dalam sebuah buku yang belum lama saya baca, sang penulis menyebutkan bahwa tulisan digunakan bermula dari kebutuhan manusia untuk mengelola informasi di “luar kepalanya”. Hal ini karena masyarakat yang semakin kompleks selepas revolusi pertanian yang mengakselerasi sejarah di sekitar 12.000 tahun silam.  Bangsa Sumeria kuno yang pertama-tama menggunakan aksara paku (cuneiform) sekitar tahun 3500 – 3000 SM, sementara sumber lain menyebutkan tahun 2470 – 2340 SM.  Di masa awal penggunaan aksara paku itu digunakan untuk mencatat aktivitas ekonomi, seperti catatan pajak dan pembukuan. Aksara semacam ini disebut “aksara parsial”, yang tidak digunakan untuk menyalin bahasa lisan. Demikian pula orang-orang Inka menggunakan tali bersimpul yang disebut quipu dalam menggarap administrasi kenegaraan. Belum diketahui sejak kapan quipu ini mulai digunakan, tapi yang jelas, peradaban Andes telah dimulai setidaknya tahun 3200 SM.  Menyusul kemudian digunakannya “aksara penuh” untuk menyalin bahasa oleh bangsa Mesir dalam bentuk  hieroglyph, disekitar tahun 1840 SM.  Aksara ini kemudian menurunkan aksara Phoenician yang digunakan sejak tahun 1000 SM oleh berbagai bangsa yang mendiami Mediterania Timur (Levant), dan menjadi cikal-bakal alfabet yang kita gunakan sekarang.  Kebudayaan-kebudayaan itu; Sumeria, Mesopotamia, Mesir, dan Inka, dalam buku-buku sejarah dunia kerap disebut sebagai ‘peradaban’. Istilah ini sering digunakan untuk menyebut suatu kebudayaan yang memiliki teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan politik-kenegaraan dari suatu masyarakat yang maju dan kompleks. Jadi tak berlebihan jika keberaksaraan dianggap sebagai simbol kemajuan  peradaban.

Namun sulit juga membayangkan – aksara paku di atas lempung, seutas tali quipu, dan hieroglyph yang terpahat di atas batu ini – dikelola dalam jumlah yang masif. Untuk itu, penemuan kertas dan mesin cetak memiliki peran sentral dalam akselerasi sejarah selanjutnya. Seorang kasim Dinasti Han bernama Cai Lun disebut-sebut yang pertama kali membuat kertas di tahun 105 M.  Segera kertas menjadikan budaya membaca dan menulis berkembang dengan cepat di Tiongkok. Setelah bekerja selama 20 tahun, pada tanggal 6 November 1455, Johannes Gutenberg akhirnya berhasil menciptakan mesin cetak.  Dampaknya luar biasa, tak lama kemudian Eropa mengalami Renaisans, transformasi besar-besaran kebudayaan Eropa, sekaligus tonggak dimulainya era modern. Adanya kertas dan mesin cetak memungkinkan distribusi ilmu pengetahuan menjadi lebih ‘radikal’, dalam hal ini perpustakaan memiliki peran sentral. Meski ‘perpustakaan’ tertua dimiliki oleh peradaban Sumeria, namun koleksi lempengan berisi huruf paku di sana tidak bisa diakses oleh publik. Demikian pula pusat arsip di masa lampau kerap menyimpan informasi penting milik penguasa yang tidak boleh diketahui oleh publik. Dalam semangat kebebasan, abad pencerahan mendorong lahirnya “perpustakaan publik”. Perpustakaan Zaluski yang didirikan di Warsawa pada tahun 1747–1795, agaknya dapat memberikan gambaran, bagaimana pendirian perpustakaan publik berangkat dari gagasan memberikan akses kepada semua orang atas pengetahuan yang sebelumnya bersifat elit.  Menyusul kemudian berdirinya perpustakaan British Museum tahun 1753, dalam sebuah gagasan “perpustakaan nasional”. Di sinilah menurut saya, modernisme telah mempertemukan gagasan kemanusiaan, kesetaraan, kebebasan, dan kebangsaan dalam ide tentang perpustakaan nasional (National Library). Sehingga tidak berlebihan juga, jika perpustakaan dikatakan sebagai simbol peradaban dan pusat kebudayaan bangsa.

Tentu kita semua bersepakat, sebagaimana bangsa-bangsa yang sudah disebut di atas, Nusantara adalah ‘peradaban’. Keberaksaraan Nusantara sejauh yang dapat dilacak ialah keberadaan aksara Pallawa Pra-Nagari pada Yupa dari era Kerajaan Kutai (400 M). Namun tidak kemudian serta merta ‘perpustakaan’ telah ada pada masa itu, apalagi di tengah peradaban yang lebih mengembangkan tradisi kelisanan ketimbang keberaksaraan. Perpustakaan pertama di Indonesia tercatat diresmikan pada tahun 1624. Perpustakaan tersebut merupakan perpustakaan Gereja yang meminjamkan koleksinya kepada tenaga medis rumah sakit Batavia.  Menyusul kemudian perpustakaan milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang berdiri tahun 1778. Dan tepat 40 Tahun yang lalu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) berdiri sebagai peleburan dari – di antaranya – perpustakaan museum pusat, perpustakaan sejarah, politik dan sosial, serta perpustakaan DKI. 

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Sumber : Wikipedia.org (Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0)

Sebagai simbol peradaban bangsa, setiap perpustakaan memiliki sejarah, tujuan dan aktivitas yang berbeda-beda. Artinya, perpustakaan lahir, tumbuh, dan berkembang sebagaimana konteks sosio-kultural dan semangat zamannya. Dalam sejarah peradaban, umat manusia telah mengalami beberapa kali revolusi, mulai dari revolusi kognitif hingga revolusi industri. Revolusi industri pun kini telah mencapai tahap yang keempat, warga dunia menyebutnya sebagai Revolusi Industri 4.0, sebuah era di mana otomatisasi, komputer, dan internet saling terintegrasi untuk meningkatkan produktivitas. “Literasi baru” yang menekankan pada literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia, kini telah menjadi semangat zaman. Melalui e-resource, OPAC, Khastara, layanan ISBN online, dan tentunya iPusnas, kita melihat bagaimana Perpusnas RI dalam usianya yang ke-40, telah siap dengan literasi baru. Namun, dalam hal literasi masyarakat, kita masih melihat ada ketimpangan.

Dalam survey bertajuk World's Most Literate Nations oleh Central Connecticut State University (CCSU), menunjukkan hasil akhir yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-60 dari 61 – atau – rangking kedua dari bawah, tepat di atas Bostwana. Padahal jika mengacu pada ketersediaan dan kesiapan perpustakaan, Indonesia berada pada urutan 36, di atas Korsel, New Zealand, dan bahkan Jerman.  Beberapa kalangan sempat meragukan survey ini karena dianggap dilakukan oleh pihak asing yang tendensius. Namun tahun 2019 Puslitjakdikbud Kemendikbud RI melakukan kajian terhadap Indeks aktivitas literasi membaca di 34 Provinsi. Hasilnya tak jauh beda, yakni menunjukkan bahwa mayoritas provinsi di Indonesia berada pada level aktivitas literasi rendah.  Bagaimana mungkin aktivitas literasi rendah, sedangkan gawai nyaris selalu ada dalam genggaman setiap orang hari ini? Jadi, dari 9 jam rata-rata orang Indonesia menatap layar smartphone, tidak melakukan aktivitas literasi baru (membaca e-book, berdiskusi, menelusuri data, dsb.), melainkan menumpahkan uneg-uneg, berkomentar, membagikan tautan-tautan di media sosial; atau sibuk meneruskan pesan berantai di text messaging apps. Penggunaan gawai dalam mengakses sumber literasi masyarakat masih sangat rendah.  Artinya, kita masih terjebak pada apa yang disebut oleh Walter J. Ong sebagai “kelisanan sekunder”, yakni peristiwa kelisanan yang terjadi pada media komunikasi. Kelisanan ini kerap terungkap dalam teks, sehingga pembaca kerap mengira dirinya telah ‘membaca’, padahal yang ia baca adalah teks kelisanan yang jauh dari aktivitas literasi. Bagi Ong, kelisanan sekunder merampok kemerdekaan kreasi dan inisiatif manusia, lalu memasifkannya menjadi massa penonton. 

Kembali kepada perpustakaan sebagai simbol peradaban – yang dalam hal ini – saya memahami ‘simbol’ sebagai sarana menyampaikan suatu pesan atau keyakinan. Namun dalam simbol sebagai ‘representasi’, ia sedikit timpang. Tetapi bagi saya saat ini, yang terpenting adalah bagaimana ‘melampaui’ simbol itu dan mulai menyentuh substansinya. Dalam Revolusi Industri 4.0 ini ternyata kita masih memiliki “pekerjaan rumah” yang belum selesai. Tekanan percepatan sejarah agaknya membuat kita terpaksa melompati tahap ‘literasi lama’, yakni baca-tulis tradisional yang – meski tidak selalu – kerap diidentikkan dengan media fisik-analog. Kebiasaan copy-paste atau plagiarisme dapat menjadi contoh bagaimana seseorang yang menguasai literasi data dan teknologi, namun kurang tekun dalam membaca dan menulis. Tentu dalam hal ini, hendaknya tidak membiarkan Perpusnas RI berjalan sendirian, sinergitas pendidikan tinggi, media massa, penerbit, dan pemerintah daerah tentu dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah ini. Justru mempertahankan literasi lama sebagai ‘payung’ dari literasi baru menjadi kebutuhan kita hari ini, dengan jalan mempratikkannya dalam medium digital. Dengan meningkatnya aktivitas literasi masyarakat, Perpusnas RI sebagai ‘pembina’ perpustakaan-perpustakaan di seluruh penjuru Nusantara, tidak hanya menjadi ‘simbol’ - melampaui itu – ialah peradaban dan pusat kebudayaan itu sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar