Header Ads Widget

Header Ads

Akselerator atau Deselerator? : Refleksi atas Krisis yang Akseleratif dan Kompetitif

Di suatu sore yang belum lama, saya berdiri di depan teras, memandang jalan sekadar melepas kejemuan. Maklum, social distancing yang mengharuskan saya seharian bekerja dari rumah. Realitas virtual kini tidak hanya menjadi kemungkinan, namun telah menjadi keniscayaan bagi saya di hari itu, sekarang, dan mungkin esok. Kemudian saya tercenung, mencoba mengingat-ingat kembali apa yang juga belum lama. Setidaknya di sekitar paruh kedua tahun 2019, kita mengalami gegap gempita dan derasnya gelombang optimisme karena musim semi Ekonomi Kreatif (Ekraf) Indonesia. Tidak hanya dari masyarakat pelaku Ekraf, namun juga para pemangku kebijakan dan para pemimpin negeri ini turut menggaungkan semangat dan optimisme tersebut. September 2019 Triawan Munaf mengatakan bahwa sub-sektor fashion, kuliner, dan craft terus menunjukkan kemajuan dan berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia secara kolektif. Meski belum terfasilitasi secara optimal, sub-sektor film, musik, dan game, juga memiliki nilai yang tinggi.  

Kontribusi Ekraf terhadap PDB Nasional Indonesia memang tidak bisa diremehkan, di akhir tahun 2017 saja sektor Ekraf telah menyumbang Rp. 1.200 T  dari total PDB.  Setelah dalam beragam kesempatan senantiasa mengekpresikan optimisme, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa jumlah penduduk 647 juta orang akan menjadi aset penting bagi Ekraf di ASEAN. Presiden juga mengatakan bahwa sekarang Indonesia telah merusmuskan roadmap “Making Indonesia 4.0” untuk membangun industri yang berdaya saing global di era digital, dan menjadi salah satu “The Next Big Thing” Indonesia.  Pernyataan tersebut diungkapkan presiden dalam forum Asean-Republic of Korea (RoK) CEO Summit di Busan Exhibition and Convention Center (BEXCO) pada bulan November 2019, tepat pada bulan di mana seorang pria berusia 55 tahun menjadi pasien pertama Covid 19 di Wuhan, China.  Dua bulan kemudian, pasien pertama Covid 19 terkonfirmasi di Korsel.

Dan “dia” pun Datang

Seminggu setelah pemerintah mengumumkan social-physical distancing sekitar Maret 2020 lalu, sejenak saya membuka-buka halaman Facebook. Ada yang menarik dari status akademisi cum budayawan  Univesitas Negeri Malang, Prof. Djoko Saryono mengungkapkan kurang lebih demikian; “Yang menaklukkan hegemoni wacana (eh diskursus) Revolusi Industri Keempat di sini adalah diskursus pandemi virus korona baru (COVID-19)”. Saya menjadi terpantik, agaknya di waktu-waktu yang sudah, kita terlalu bergenit-genit mengenakan jargon “Disrupsi” atau “Industri 4.0”, “Globalisasi” dan beragam turunannya yang nyaris selalu hadir dengan label “4.0”. Entah itu dalam wujud gegap gempita sermonial, seminar akademik, talkshow, atau ragam pelatihan teknis digitalisasi bagi UMKM yang belum tentu dapat diimplementasikan. Hingga pada saat SARS-CoV-2 mulai memasuki pekarangan rumah kita, semuanya panik, berlarian kesana kemari mencari tempat bersembunyi. Dalam sekejap jargon-jargon di atas lenyap dari linimasa, tergantikan oleh hashtag #workfromhome, #stayathome, atau #dirumahaja. Social distancing akhirnya menjadi hambatan terbesar bagi pelaku Ekraf sub-sektor seni pertunjukan. Bioskop berhenti beroperasi, bahan baku kerajinan dan kuliner melambung tinggi.

Situasi bisnis ritel di masa pandemi COVID 19.
Sumber : Photo by Tim Mossholder on Unsplash 

Survey yang dilakukan oleh Sindikasi (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi) pada bulan Maret hingga April 2020, kelompok pertama pelaku Ekraf sub-sektor Film, Video, Audio Visual (17.35%) adalah yang paling banyak mengalami pembatalan kerja akibat pandemi Covid 19. Diikuti oleh kelompok kedua, yakni Seni Pertunjukan (10.85%), Seni Vokal/Musik (9.4%), dan Fotografi (9.4%). Pada sub-sektor Penelitian (7,2%) dan DKV (7,2%), dirasakan dampak namun tidak sekuat pada kelompok yang pertama dan kedua.  Meski pelaku sektor Ekraf kerap diidentikkan dengan kemahiran penggunaan teknologi, namun pada kelompok pertama dan kedua, kerap mensyaratkan kehadiran fisik atau berkumpulnya massa. Dalam situasi seperti ini, Unicorn-pun bisa babak belur. Gojek agak lesu karena ride-hailing menurun drastis, namun layanan pesan-antar makanan (GoFood) masih relatif stabil, diikuti dengan meningkatnya kunjungan ke fitur GoMed. Sementara itu, Traveloka harus tiarap karena orang dilarang berpergian atau mudik.  Problem yang tak kurang lebih sama juga dihadapi oleh Ekraf pada negara-negara terdampak Covid 19 di dunia. Di samping mendorong tingkat produksi, ECBNetwork (European Creative Bussines Network) juga menyerukan pemberian ignition fund  untuk me-restart Ekraf Eropa dari pemangku kebijakan.  Tak jauh berbeda, di Indonesia, Sindikasi juga menyerukan kepada pemerintah untuk memberikan bantuan langsung tunai, dana stimulus, serta beragam mekanisme perlindungan bagi pekerja kreatif, terutama freelancer yang kondisinya saat ini dinilai paling rentan. 

Ketapel itu Bernama “Covid 19”

Siap atau tidak, Zoom, Microsoft Teams, Moodle, Canvas tetiba menjadi realitas keseharian para pelajar, mahasiswa, guru/dosen hari ini. Cukup mengejutkan ketika menengok beranda Instagram, rekan-rekan desainer grafis yang pada masa pra-pandemik banyak disibukkan dengan pekerjaan, kini berbondong-bondong membagikan ilmunya melalui fitur Live Instagram. Beranda dipenuhi poster-infografis mengenai Covid 19 masterpiece para pendekar marketplace - microstock. Di IG Story, saya melihat para crafter membuat masker non-medis yang fashionable untuk dijual dengan harga sangat terjangkau, atau bahkan membaginya secara cuma-cuma dengan terlebih dahulu menggalang dana. Menariknya, beberapa rekan yang setahu saya introvert, kini tak malu-malu membagikan tautan chanel Youtube-nya, pun tak lagi canggung beraksi di depan kamera.

Beberapa pemusik indie juga lebih sering mereferensikan karya mereka di Spotify, atau membagikan IG Story aksi kolaborasi dengan musisi lain. Setelah sebelumnya jarang beriklan di media sosial karena mengandalkan makan di tempat, kini salah seorang teman mempromosikan usaha kulinernya melalui Instragram, sekaligus menjamin kebersihan pengolahan, kebersihan, dan pengirimannya. Nyaris setiap hari saya melihat poster penyelenggaraan seminar-seminar akademik dengan beragam topik yang digelar melalui Zoom, dan dapat diikuti secara cuma-cuma. Kanal-kanal  e-learning dibuka, beberapa dapat diakses secara cuma-cuma, sebagian yang lain diskon, mulai dari pembelajaran formal – hingga kelas copywriting bagi UMKM. Sekitar awal April 2020, melalui hashtag #museumfromhome, Museum Macan meluncurkan museum virtualnya. Sementara itu, 69 seniman Indonesia dari berbagai disiplin fokus berkolaborasi dengan seniman Singapura untuk sebuah pameran virtual di www.extended.asia. Situasi ini tidak dialami oleh umat manusia pada wabah flu Spanyol tahun 1920, dan abad-abad sebelumnya. Dari sini saya merasa – mudah-mudahan tidak keliru – secara teknis, Industri 4.0 justru sedang berlangsung pada ranah praksis, tanpa harus bersolek selebrasi dan bergenit-genit dengan jargon. Wabah Covid 19 menjadi semacam constraint yang melontarkan kita kepada situasi yang lebih akseleratif. Setelah sebelumnya kita menyaksikan bagaimana para Unicorn menjadi disruptor,  kini beberapa di antara mereka mengalami keadaan yang sebaliknya. Artinya, di waktu yang sudah, situasi telah akseleratif, dan kini semakin akseleratif oleh karena sebuah “ketapel” bernama SARS-CoV-2. 

Akselerator atau Deselerator?

Apakah kita sedang melangkah? Ya, kita sedang berada pada “episode praksis” dari skenario Industri 4.0. Adapun “episode diskursus” yang bergenit-genit dengan jargon telah berlalu. Apakah kita terpuruk? Ya, dan demikian pula warga global. Kedatangan SARS-CoV-2 mengabarkan rapuhnya sumber daya, infrastruktur, sistem dan kebijakan ekonomi dalam menyambut Industri 4.0, tidak hanya kepada kita, tapi seluruh warga global. Ia juga mengabarkan pentingnya perencanaan finasial. Gig Economy yang dalam diskursus Industri 4.0 sering dianggap sebagai pekerjaan masa depan, kini menjadi cluster yang paling rentan. Tentu untuk mengatasinya dibutuhkan peran pemangku kebijakan. Saya, atau mungkin juga kita, masih belum tahu sejauh mana semua yang bisa kita lakukan di atas (virtualisasi, microstock, online platform) mampu memberikan feedback yang signifikan untuk kita agar bisa bertahan di situasi yang serba tidak menentu ini. Namun untuk melewati masa sulit ini, yang tidak boleh absen bagi setiap pekerja kreatif adalah mengerahkan segala cara dan upaya yang dapat dilakukan untuk bisa bertahan dalam situasi krisis yang juga membawa dampak akselerasi dan kompetisi ini. Ada banyak cara, namun sebagian orang memilih untuk menjadi rakus dengan memanfaatkan ketakutan dan kepanikan. Untuk itu, tidak ada cara selain tetap berempati terhadap krisis ini.

Pertumbuhan dan penurunan traffic selama wabah COVID 19. Sumber : https://neilpatel.com 

Dunia bisnis agaknya banyak merubah strategi komunikasi pemasaran mereka dengan menerapkan social responsibilty dengan komunikasi pemasaran empatik. Tujuannya membangun simpati, karena memang publik saat ini sedang terpukul. Semisal peluncuran Spotify COVID-19 Music Relief yang menggalang bantuan finansial untuk mereka yang ada di komunitas musik di seluruh dunia. Perilaku konsumen menjadi berubah karena krisis ekonomi global, mereka menekan hasrat hedonisme, lalu lebih fokus kepada nilai. Konsumen juga lebih peduli terhadap kesehatan dan kebersihan, dan oleh karena situasi yang akseleratif dan kompetitif, konsumen juga peduli terhadap peningkatan pengetahuan-keahlian (skill advancement). Konsultan digital marketing dan SEO analyzer asal Inggris, Neil Patel mengatakan bahwa selama wabah Covid 19 traffic sebagian besar sektor industri di dunia menurun, namun pada sektor finance, food, healthcare, dan media mengalami peningkatan.  Sektor media mengalami peningkatan paling tinggi karena setiap orang ingin ketinggalan informasi tentang situasi politik, ekonomi dan perkembangan wabah Covid 19. Meski spekulatif, namun munkinkah ini yang menyebabkan social media post template, grafik, infografik, photostock tentang kesehatan dan Covid 19 begitu populer di marketplace-microstock platform?

Sebagian sektor industri meroket pada platform digital, sebagian lagi terpuruk, lalu merubah strategi komunikasi pemasaran secara empatik pada platform digital. Netflix “berkompetisi” dengan SARS-CoV-2 dalam hal “menginfeksi” penduduk bumi. Sepanjang pandemi, tak kurang 16 juta new sign-ups terjadi pada situs layanan tersbut.  Survey yang dilakukan oleh Nielsen Music di AS mengatakan bahwa 60% orang lebih intens dengan entertainment sepanjang pandemi, 24% di antaranya melakukan new sign-ups, dan 79% berkomitmen untuk tetap berlangganan pada pasca-pandemi.  Entah, apakah kita masih bisa melihat sebagian ragam pertumbuhan ini sebagai peluang bertahan bagi Ekraf di masa krisis? Bagaimana sejatinya pandemi ini bagi Industri 4.0? 

Akselerator ataukah deselerator? Kalau ini memang pilihan, sembari memutar otak dan berharap krisis segara berakhir, secara personal saya pilih yang pertama.

*) Artikel ini meraih Juara I dalam kontes artikel yang diselenggarakan oleh Kenalsapa.com pada bulan April - Mei 2020.

Posting Komentar

0 Komentar